Selasa, 26 Juni 2012

Peta penyebaran teater ( penjelasan kecil )

Sebenarnya saya sedikit kurang berani untuk mempublikasikan tulisan mengenai penyebaran teater ini. Selain karena saya amat kurang pengalaman dalam dunia teater, tulisan ini juga hanyalah sebuah materi yang saya catat ketika saya memasuki semester empat di bangku kuliah. Amat banyak kekurangan dalam tulisan saya yang singkat ini, namun tidak ada salahnya jika saya sedikit ingin berbagi pengetahuan yang saya miliki. Jika berkenan berikanlah tambahan atau kritik atas tulisan ini. Bagaimana penyebaran teater hingga sampai ke negeri tercinta kita ini? Pada awalnya, dunia peran atau seni pertunjukkan teater seperti sekarang adalah bermula dari Upacara ritual suku-suku Indian-Maya di Mesir-Mesopotamia. Upacara tersebut dilakukan untuk memuja yang Maha Kuasa atas limpahan rejeki yang mereka terima. Dalam ritual tersebut, mereka menggunakan topeng-topeng dan meniru-niru gaya binatang seperti burung ataupun bison. Merekapun meniru alam sekitar sebagai tanda rasa syukur mereka atas alam yang telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam ritual tersebut, terdapat seseorang yang bertugas sebagai pembuat kisah atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan sutradara. Kemudian terdapat juga penonton yang menjadi saksi atas ritual pemujaan tersebut. Seperti yang telah kita ketahui secara umum, Mesir pada masa dahulu kala memiliki kebudayaan yang kuat yang banyak mempengaruhi negara-negara sekitarnya. Hal ini juga terjadi pada upacara ritual tersebut. Menyebarlah budaya ini ke negara-negara yang kemudian memiliki pengaruh besar terhadap dunia, seperti Yunani ( yang kita ketahui merupakan asal mula kebudayaan Barat seperti Inggris), India, Timur Tengah dan Cina (yang merupakan asal mula kebudayaan masyarakat timur). Lalu, berkembanglah dunia teater ini di Yunani (1000SM). Masa aeschylus 525-456 SM, Sophocles 496-406 SM, Euri Pides 480-406 SM, Aristophanes 400 SM, kemudian berlanjut pada masa Romawi 200 SM, kemudian menyebar ke Eropa pada tahun 500 SM hingga sekarang. Dimana kemudian Eropa terkenal dengan kisah Moliere (Prancis) dan William Shakespeare (Inggris). Kemudian, jalur dimana dunia teater sampai kepada negeri kita adalah melalui tiga kawasan. Yakni, India, Timur Tengah, dan Cina. Masing-masing kawasan tersebut, memberikan pengaruh terhadap dunia teater kita, mengingat negara kita pada masa itu menjadi jalur serta pusat perdagangan dunia, dimana banyak para pedagang serta orang-orang dari tiga kawasan tersebut datang dan menetap. India ( 3000 SM-2500 SM) mempengaruhi akibat ajaran Budha yang mereka sebarkan, cerita-cerita seperti Mahabrata, Viyasa, Ramayana, Walmiki merupakan judul-judul yang pasti akrab di telinga kita. Kemudian Cina ( 4000-3000 SM), tak hanya di Indonesia , kebudayaan Cina juga menjadi cikal bakal lahirnya banyak budaya di kawasan Timur Asia, termasuk Jepang dan Korea. Hanya saja pada perkembangannya yang memberikan pengaruh terhadap dunia teater kita adalah Jepang dengan seni teater Kabukinya. Kita pasti dapat menemukan dengan mudah kesamaanya, yakni polesan muka yang dicat putih tebal seperti yang kita lihat pada cerita empat sekawan, dan seni peran lainnya yang banyak ditemukan di tanah jawa. Meskipun seni teater Cina juga menggunakan make up tebal seperti kabuki, yang memberikan pengaruh nyatanya adalah kabuki. Sedangkan Korea tidak memberikan pengaruh. Konsep yang kental terlihat dari pengaruh Cina serta Jepang adalah saat berada di panggung. Dimana tidak semua properti dimunculkan, lebih banyak menggunakan daya imajinasi antara pemain dan penonton. Pengaruh Timur Tengah, India, Cina, Jepang ini berlangsung sekitar mulai tahun 1885. Masa Indonesia klasik. Lalu, pengaruh barat masuk ketika negara kita berada dalam pemerintahan yang otoriter. Banyak orang yang tak dibungkam, tak bisa menyuarakan pendapat sehingga banyak dari mereka diasingkan atau mengasingkan diri ke luar negeri. Termasuk ke negara Barat, seperti Amerika dan Inggris. Sastrawan kita termasuk yang diasingkan dan mengasingkan diri tersebut. Dalam pengasingannya mereka banyak belajar mengenai dunia teater barat. Dan membawa oleh-oleh mereka itu ke tanah air ketika negara kita telah aman dan dapat kembali menyuarakan suara hati dengan bebas. Jika sebelumnya kita mengandalkan daya imajinasi pemain dan penonton untuk menghadirkan suatu bentuk, maka dunia barat mengenalkan kebalikannya. Meletakkan imajinasi itu pada benda yang ada dan membawanya ke dalam panggung. Yang pasti jika memang hal itu benar-benar benda yang dapat ditampilkan dalam sebuah panggung, sebab panggung teater dunia Barat lebih besar kapasitasnya. Demikian semoga bermanfaat, dan mohon koreksi jika terdapat kesalahan. Terima kasih.

Rabu, 06 Juni 2012

Kritik sederhana Robohnya Surau Kami

Robohnya Surau Kami A.A Navis merupakan seorang Penulis dan juga Sastrawan Indonesia yang dilahirkan pada tanggal 17 November 1924 di Padangpanjang, Sumatera Barat. Sebagai sastrawan yang dilahirkan dan tumbuh di lingkungan tradisi Minangkabau yang identik dengan latar belakang agama Islam yang kuat, maka karya-karyanya termasuk Robohnya Surau Kami kental dengan unsur-unsur yang berbau dengan agama Islam. Di dalam lingungan masyarakat Minang, Surau merupakan tempat yang banyak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar agama. Oleh karena itu peran Surau amatlah penting dalam masyarakat Minang. Dari sanalah dibangun karakter-karakter keislaman yang nantinya akan diberikan kepada anak-anak dan generasi penerus masyarakatnya. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa dalam cerpen Robohnya Surau Kami ini A.A Navis seperti ingin menceritakan suatu hal yang sangat penting yang ingin disampaikannya. Robohnya Surau Kami menceritakan tentang sosok seorang kakek tua yang berprofesi sebagai garin, yakni penjaga Surau. Kakek yang setiap harinya menjaga surau ini banyak menghabiskan waktunya dengan beribadah di dalam surau. Suatu hari ia resah ketika ada seorang bernama Ajo Sidi yang terkenal sebagai seorang pembual, yang bualannya ia buat berdasarkan watak-watak orang disekitar kampungnya. Ajo Sidi pun membual tentang kakek hingga kakek marah dan kesal, meskipun tidak secara langsung menyebut nama kakek di dalam cerita bualannya. Ajo Sidi menceritakan Haji Saleh yang pada hari perhitungan di hadapan Tuhan amat yakin dengan pahalanya yang pastinya akan membawanya ke dalam surga, namun ternyata Tuhan melemparnya ke Neraka. Hal ini dikarenakan Haji Saleh hanya fokus beribadah untuk dirinya sendiri dan tak menghiraukan keadaan orang lain disekitarnya. Kakek merasa Ajo Sidi menyindirnya dengan sosok Haji Saleh tersebut, dan hal itu akhirnya membuat ia bunuh diri. Cerpen ini kental dengan amanat yang dalam. Pengarang seperti ingin mengingatkan masyarakat yang banyak salah menilai makna beribadah yang baik dan benar dalam agama. Beribadah bukanlah hanya sekedar sholat, mengaji, sujud kepada Tuhan, dan semacamnya. Agama juga menyuruh kita untuk berhubungan baik dengan sesama manusia dan juga alam, selain kepada Tuhan yang utama. Oleh karena itu, apa yang terlihat dalam kisah pada cerpen menggambarkan kekeliruan manusia terhadap pemahaman ibadah. Bahkan sampai saat inipun jauh setelah cerpen ini diterbitkan, masalah seperti ini masih terjadi. Agamapun mengajarkan kita untuk saling menjaga hubungan antar sesama manusia (hablumminannas), dan juga untuk saling mengingatkan dalam kebaikan (amar ma’ruf nahi munkar). Oleh karena itu tidak benar jika kita terus beribadah memperbanyak pahala agar masuk surga tetapi mengabaikan orang-orang disekitar kita hingga mereka tak terurus dan terlunta-lunta. Agama tidak menghendaki keegoisan semacam itu. Kesalehan tidak hanya berarti bahwa kita dapat banyak pahala dan masuk surga sendirian tanpa memikirkan hak-hak orang lain. Pengarang, yakni A.A Navis ingin mengkritik hal tersebut daslam cerpennya. Ia menggambarkannya secara halus dan tidak menyinggung atau menggurui siapapun, sehingga orang yang membacanya akan dapat tersadar hatinya akan kekeliruannya tentang pemahaman ibadah semacam itu. Ia menceritakan hal tersebut dengan jenaka dengan membuat sosok tokoh pembual seperti Ajo Sidi. Jika dilihat sebenarnya Ajo Sidi bukanlah seorang yang benar-benar suka membual, karena ia seperti membuat cerita bualan yang bersifat satire terhadap masyarakat di kampungnya. Tentu saja melalui tokoh inilah pengarang memasukkan gagasannya. Sosok Kakek yang kemudian diceritakan bunuh diri di akhir cerpen seperti menggambarkan bahwa sang kakek sesungguhnya tersindir dengan bualan Ajo Sidi dengan cerita Haji Salehnya tersebut, meskipun sang kakek pada awalnya terlihat marah dan kesal pada Ajo Sidi. Tanpa disadari sebenarnya kakek takut dan kemudian entah atas dasar pemikiran apa memutuskan untuk bunuh diri dengan menggunakan pisau cukur yang diasahnya

Analisis sederhana novel Tahta Awan karya Sinta Yudisia

II. TAKHTA AWAN Berangkat dari latar belakang pengategorian sastra populer dan sastra serius tersebut, saya ingin meneliti mengenai sebuah novel berjudul “TakhtaAwan” karya Sinta Yudisia yang merupakan buku kedua dari triologi “The Road To The Empire”. Apakah novel tersebut masuk ke dalam kategori populer atau serius? “Takhta Awan” menceritakan kisah kepahlawanan ksatria Muslim Mongolia, Takudar Khan, sang penguasa Mongolia. Ia merupakan keturunan Jengiz khan. Namun, banyak yang beranggapan bahwa ia tak layak memimpin Mongolia karena kelembutan hatinya. Seperti yang diketahii, pemnguasa sebelumnya Jengiz Khan merupakan pemimooin yang keras sehingga banyak musuh yang gentar terhadapnya. Pemberontakkan pun tak dapat dihindarkan. Selir Albuqa Khan yang licik menghimpun kekuatan dan menyusun taktik untuk menjatuhkan kekuasaan Takudar Khan. Ia berhasil mengembalikan Argun Khan, saudara Takudar Khan yang sebelumnya berada dalam jeruji hukuman di Penjara. Para pendukung Takudar dilanda perpecahan. Beberapa Muslim tetap berdiri dibelakangnya, sementara yang lain berpendapat lain mengenai kekuasaan muslim di Mongolia. Sementara perempuan-perempuan disekitar Takudar menunjukkan dukungan dengan caranya masing-masing. Perjalanan politik ini pun penuh dengan perjuangan. Akhirnya, kalimat terakhir dalam novel tertulis “ jika Mongolia tak mengizinkan Takudar menguasai Ulanbataar, masih terbuka kesempatan membangun Khanate baru di wilayah Persia, dimana orang-orang Mongolia diterima dengan tangan terbuka”. Dari segi sampul depan novel. Sastra serius biasanya memilki desain gambar yang abstrak. Tak jelas apa gambarnya, tetapi memilki makna dalam bagi orang yang dapat memahaminya. Sedangkan novel populer, lebih berwarna-warni, biasanya didesain dengan sangat menarik, gambar pria dan wanita yang cantik dan tampan. Dalam novel “Takhta Awan” terlihat gambar wanita cantik dan pria gagah pada desainnya. Namun, terdapat gambar latar yang menandakan sebuah pertempuran di medan perang. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa isi dari novel ini sarat dengan cerita peperangan dan politik yang kental dimana dalam cerita politik dan perang tidak mungkin sebuah cerita yang sepele atau sekedar hiburan yang setelah seleai dibaca akan membuat kita tersenyum-senyum sendiri. Kemudian kita dapat melihat dari segi penokohan. Novel populer biasanya memiliki ciri tokoh yang tampan dan cantik-cantik. Selama saya membaca novel ini, memang rata-rata tokoh perempuan di dalamnya adalah wanita Mongolia yang cantik dan sempurna. Saya kurang memiliki pengetahuan juga apakah memang mungkin wanita-wanita Mongolia memiliki ciri khas fisik yang selalu cantik seperti wanita Maroko yang terkenal cantik-cantik seperti itu misalnya atau tidak. Yang jelas Almamuchi, Karadiza dan beberapa tokoh wanita muda lainnya dalam novel ini memang memiliki pencirian fisik yang cantik dan pandai bertarung. Untuk tokoh pria pun semuanya gagah perkasa, mnungkin karena memang latar yang diceritakan adalah peperangan dan kisruh politik menjadikan semua laki-laki Mongolia mau tidak mau terdidik menjadi laki-laki yang gagah perkasa karena sejak kecil sudah diajari ilmu beladiri. Pada intinya tokoh pria dan wanita pada novel memiliki ciri fisk yang cantik-cantik dan tampan. Selanjutnya masih mengenai tokoh. Yang membuat saya agak kesulitan dalam membaca novel “Takhta Awan” ini adalah banyaknya tokoh. Betapa saya mendapati begitu banyak tokoh yang memang pada akhirnya saling berhubungan dan melengkapi cerita. Namun, karena begitu asingnya saya terhadap nama-nama tersebut ( Hal ini juga yang menjadi nilai plus bagi penulis karena riset yang begitui luar biasa atas negara Mongolia ) membuat saya agak kesulitan dalam merangkai alur ceritanya. Nama-nama yang sulit dihafal membuat saya tidak mampu menyerap cerita dengan baik pada saat pembacaan pertama saya terhadap novel. Mungkin perlu beberapa kali daam membacanya agar saya benar-benar memahami novel ini. Alur yang akan dibahas selanjutnya pada tulisan ini. Novel ini memiliki alur tunggal, alur pada novel adalah maju. Mungkin ada flashback sedikit ketika para tokohnya berpikir tentang masa lalu. Namun, secara garis besar novel ini memliki alur tunggal. Hanya saja, pada tiap-tiap bab mengalami pergantian sudut pandang penceritaan. Tokoh-tokoh yang banyak tersebut masing-masing menjadi pencerita pada tiap-tiap bab, inilah yang membuat saya juga sedikit merasa sulit dalam pemahaman cerita. Sudut pandang yang berganti-ganti dengan nama tokoh yang saya pun meski sudah sering mendapatinya dalam cerita, tak mampu menghubungkan dengan apa yang tokoh tersebut lakukan pada cerita atau bab selanjutnya. Terlebih saat tokoh perempuan. Semua bercirikan wanita cantik sehingga terkadang saya pikir Karadiza adalah almamuchi atau Almamuchi adalah Karadiza. Begitupun tokoh pria, apakah ini Urghana, Uchatadara, Rasyiduddin, Fariih Gaspar, dan sebagainya. Terlalu banyak tokoh dengan ciri yang mirip sehingga membingungkan. Gaya bahasa yang digunakan pengarang, yakni Sinta Yudisia terhitung mudah dicerna dan sangat populer. Tidak seperti novel serius seperti “Bulan Jingga dalam Kepala” yang benar-benar memusingkan, karena satu kalimat saja harus dibaca berulang-ulang agar dapat memahami maksudnya. Tidak menggunakan idiom-idiom yang mengaburkan makna, tidak mengharuskan untuk membaca satu kalimat berulang-ulang. Semua mengalir sehingga enak untuk mengantarkan cerita. Namun, ada juga hal yang membuat saya kesulitan. Riset penulis saya akui luar biasa, semua istilah dalam Mongolia ia kuasai, nama tempat, makanan, pakaian tradisional, dan lain sebagainya. Itu menjadi salah satu hal yang menguatkan setting cerita, sehingga Mongolia adalah tempat yang tak dapat diganggu gugat. Tidak bisa ketika cerita ini harus dibawa ke Vietnam atau India, karena nama-nama khas dari Mongolia itu belum tentu dapat ditemukan pada negara lain. Oleh karena itulah, karena begitu banyaknya istilah asing Mongolia dalam novel ini memberikan pengetahuan baru sekaligus juga kebingungan dalam merangkai pemahaman cerita. Istilah yang saat sekali membacanya takkan langsung terhafal karena begitu asingnya ditelinga orang Indonesia. Mungkin kita harus membolak-balik halaman sebelumnya untuk melihat arti atau menhgafal pelan-pelan agar tak membingungkan saat membaca cerita selanjutnya dari rangkaian bab-bab yang begitu banyak dari novel ini. Jika melihat amanat dalam novel ini, maka akan ditemukan beberapa. Namun tergantung juga pada pemhaman dan pengetahuan pembacanya, sangat subjektif sekali. Meskipun saya tidak tertarik dengan kajian feminis, tetapi mungkin saja jika terlihat dari sudut pandang tersebut, wanita-wanita di novel ini memiliki jiwa yang kuat. Pendekar gagah berani dalam novel in tidak selalu laki-laki, meskipun jika memang kita tak ada puasnya maka pasti akan dituntut mengapa pendekar tetap didominasi oleh laki-laki. Bagi saya tokoh seperti Karadiza dan Almamuchi adalah sosok wanita kuat yang merupakan seorang pendekar. Terutama pada orang-orang disekitarnya, termasuk Silaihua. Meskipun Sialihua hanyalah seorang pelayan Almamauchi namun ia begitu berkontribusi dalam melindungi Alnamuchi dan bayinya ketika dalam perjalanan. Almamuchi dan Karadiza amat berkontribusi atas terselesaikannya konflik kekuasaan yang dialami Takudar Khan. Namun, cerita mengenai pelecehan terhadap wanita pun terdapat dalam novel, dimana almamuchi telah dipaksa melahirkan anak Argun Khan atas perbuatan keji terhadapnya. Amanat selanjutnya yang dapat digali adalah semangat umat Muslim yang tak pernah padam. Ia akan senantiasa menyiarkan cahaya Islam dimanapun mereka berada. Jikapun tak dapat diterima, maka ia akan mencarinya kembali ditempat lain, di bumi yang telah Allah SWT sediakan untuk mereka hidup dan berdakwah. Dengan demikian, dapat saya simpulkan bahwa novel “Takhta Awan” dikategorikan populer dari segi penggunaan bahasanya yang memang populer dan penokohannya. Namun, bagi saya ini adalah novel populer yang bagus, sangat bagus! Riset penulis luar biasa terhadap latar tempat yang digunakannya dalam cerita. Kisah kepahlawanan yang tidak kalah dengan novel-novel terjemahan dari luar negeri, kisah cinta yang lembut pula yang membuat kisah di dalamnya tidak menjadi kaku hanya seputar politik perebutan kekuasaan dan peperangan. Ada air yang menyejukkan di tengah gurun yang gersang. Begitulah penggambaran terhadap novel ini. Cerita poitik yang berat namun diselingkan dengan kisah cinta agar tidak membosankan. Oleh karena itu, novel populer tidaklah selalu buruk. Pengategorian novel populer dan novel serius sesungguhnya tidak begitu harus seekstrim itu. Bisa jadi tidak usah ada istilah tersebut, yang ada hanyalah novel bagus dan novel tidak bagus.