Rabu, 30 April 2014

Jam tangan Nenek tua.



Kali ketiga aku melarikan diri dari jam olahraga. Aku bersembunyi di bawah pohon belakang bangunan sekolah. Duduk di atas ayunan kayu sambil mengunyah permen karet. Kenapa aku lari? Terkadang pertanyaan yang timbul dari dalam diriku sendiri justru aku tidak dapat menjawabnya. Aku juga tidak tahu, yang pasti aku lemah dalam olahraga. Lari selalu yang terakhir, bermain kasti selalu membuat tim kalah, dan gerakanku saat senam sangat aneh. Kaku seperti robot. Serta merta semua mentertawakan aku. Pasti bisa dibayangkan apa yang aku rasakan? Malu! Maka aku selalu rutin melarikan diri belakangan hari ini, karena aku sudah tidak sanggup lagi ditertawakan, diam-diam.
Aku mengunyah permen karet keempatku. Yang lain sudah kubuang, rasa manisnya sudah hilang sejak kali pertama gelembungnya berhasil kucitpakan. Ah! Hambar rasa permen karet ini, besok aku akan cari rasa lain yang lebih tahan lama manisnya. Biar aku bisa semakin berlama-lama di sini. Menatap rumput dan alang-alang yang bergerak-gerak ditiup angin. Saling beradu satu sama lain. Meski rumput itu kalah tinggi, tapi tetap saja kan dia tidak mau kalah. Lebatnya hampir menyamai kumpulan alang-alang yang seolah mau menguasai daerah ini. Tanah di belakang sekolah ini. Toh seperti apapun persaingan diantara keduanya, tetap saja mereka hidup dengan tujuan yang sama. Menanti angin yang akan menggerakkan tubuh-tubuh mereka. Meski gerakan rumput takkan segemulai alang-alang yang tubuhnya jauh lebih tinggi. Angin tetap menempa ujung kepala tiap-tiap rumput. Dan itu yang mungkin dinanti. Aku sok tahu saja. Mana aku tahu rasanya jadi rumput.
Kebun belakang sekolah ini biasanya selalu kedatangan tamu. Seorang nenek tua yang kerap mencabuti rumput dan alang-alang kemudian mengikatnya untuk dibawa pulang. Untuk makan hewan ternaknya mungkin, atau dibuat sesuatu. Sekali lagi, aku sok tahu saja. Tapi hari ini aku tak melihat nenek itu. Kemana dia?
Hup! Aku turun dari ayunan kayu. Heh, hendak kemana kakiku ini? Aku yang sedari tadi sok tahu, justru tidak tahu kemana kakiku hendak pergi. Padahal kakiku sendiri. tanganku otomatis menepis alang-alang yang menghalangi lajuku. Kaki kanan dan kiriku berganti-ganti menapaki jalan yang penuh dengan rumput. Aw, aku menginjak rumput-rumput itu, yang susah payah hidup bersaing dengan alang-alang. Aku menghancurkan usaha mereka menguasai tempat ini? Mereka yang lebih kecil dari alang-alang dan tidak putus asa berjuang? Aku kan sok tahu, jadi mana kutahu.
Puh, aku melepeh permen karet terakhirku. Benar-benar tidak manis lagi, sama sekali.

            Setelah aku menyibak sepasukan rumput dan alang-alang, aku mendapati sebuah kebun asri setelahnya, kemudian sampailah aku di depan sebuah rumah tua namun terawat. Agak merinding saat menyadari bahwa tempat ini tenang sekali. Sejuk, bersih, dan tercium aroma kayu dari tiang-tiang bangunan rumahnya. Aku mengitari bagian luar rumah tua itu. Dari sekolah, aku tidak bisa melihat kalau disini ada rumah. Apa sesungguhnya rumput dan alang-alang itu bukan beraing? Mungkin mereka bersatu untuk menyembunyikan keberadaan rumah ini. Lalu, apa gunanya angin yang mereka tunggu? Bukannya mereka berebut hembusan sang angin? Jangan-jangan hanya tipuan. Bisa saja agar terkesan natural, sehingga mereka tidak terlihat mencurigakan sedang menyembunyikan sesuatu. Tarian mereka bersama angin itu untuk menyembunyikan sesuatu kan, rumah ini. Apa rasa sok tahuku kali ini benar?
            Aku menemukan tumpukan alang-alang yang biasa dikumpulkan nenek itu. Loh, dia tidak punya hewan ternak. Alang-alang itu sebagian sudah kering dan tertata rapi di bagian belakang rumah. Aku berjalan sedikit lebih ke belakang lagi. Oh, ada banyak semacam tikar, lalu wadah makanan (mungkin, aku sok tahu lagi), dan bebeberapa bentuk kerajinan lainnya. Oh, jadi bukan untuk pakan ternak (ternyata tebakanku yang sok tahu itu salah). Aku coba raba salah satu wadah yang terbuat dari anyaman alang-alang itu. Lucu juga. Tiba-tiba ketika aku hendak meraba benda lainnya, ada sesuatu yang menyentuh bahuku. Ya Tuhan, apa itu? Aku ingin menebak-nebak, tapi kali ini aku sungguh tak ingin rasa sok tahuku bekerja. Aku bergidik. Angin berhembus pelan. Suasana menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Kumohon ini bukanlah hantu atauapun orang jahat yang dipikirkan oleh rasa sok tahuku. Aku juga tak mau jika yang menyentuhku adalah tangan nenek penghuni rumah ini yang ternyata adalah penyihir tua yang jahat. Penyihir jahat yang tengah menunggu gadis remaja untuk ditangkap dan dijadikan bahan tambahan ramuan awet mudanya. Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, saat aku berbalik nanti kumohon rasa sok tahuku kembali salah. Semoga bukan nenek penyihir yang jahat. Semoga bukan hantu di siang bolong penunggu kebun belakang sekolah. Semoga....
Aku membalikkan tubuhku.
            Ne-nenek....

* * *

Aku mengganti pakaian olahragaku dengan seragam biasa. Jam pelajaran olahraga sudah usai. Aku kembali duduk di kursiku yang letaknya tepat di samping kaca yang menghadap ke kebun belakang sekolah. Makannya aku bisa tahu kalau ada seorang nenek yang kerap datang mencabuti rumpur dan alang-alang (kali ini aku benar, bukan sok tahu). Aku merogoh sakuku, mengambil jam tangan tua di dalamnya. Nenek itu  yang memberikannya padaku tadi.

Setelah aku menoleh, ternyata nenek pemilik rumahlah yang menyentuh bahuku. Kemudian ia mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Saat di dalam aku semakin jelas mencium aroma kayu dari tiang-tiang penyangganya. Nenek itu hidup sendiri setelah cucu kesayangannya meninggal. Aku tak tahu mengapa ia memberiku jam tangan usang ini.
“Berikan pada laki-laki yang kau sukai,” Begitu kata nenek.
Aku sebetulnya ragu. Aku tak kenal nenek itu, tapi entah kenapa aku menurut saja ketika ia mengajakku masuk dan memberikan benda ini. Tanpa pikir panjang aku menerimanya. Hebat, seperti dihipnotis. Ah, mungkin nenek itu bukan penyihir tapi tukang hipnotis (aku mentertawakan rasa sok tahuku). Lagipula hendak kuberikan kepada siapa? Laki-laki yang kusuka? Memangnya ada? (Ada).
“Apa itu?”, tanya temanku ketika ia tak sengaja melihat jam tangan yang kupegang saat melewati kursiku.
Aku menggeleng. Bukan apa-apa, dan aku langsung memasukannya ke dalam tas.

* * *  

Esoknya aku kembali ke rumah tua sang nenek. Kali ini bukan kabur menghindari jam olahraga, tapi memang sengaja. Aku memanfaatkan waktu istirahat. Aku mau tanyakan maksud jam tangan itu.
Nanti juga akan tahu. Begitu kata Nenek. Tapi dengan jawaban itu, aku justru semakin tidak tahu. Rasa sok tahuku tidak berfungsi sebagaimana biasanya. Dan akupun hanya memandangi jam tua itu. Kalau harus diberikan kepada laki-laki yang kusuka...
Rumput dan alang-alang itu juga kalau hanya dilihat dari jendela sekolah, kau juga tidak tahu kan apa gunanya mereka tumbuh lebat disana? Begitu kau mendekat, ternyata mereka berguna ketika diberikan kepadaku. Dan aku membuatnya menjadi ini untuk kuberikan lagi padamu. Begitu kata Nenek sambil memberikan sebuah wadah kecil berbentuk kotak. Kemudian ia meminta jam tangan itu dan menempatkannya di sana. Ooh, seperti tempat-tempat jam kalau di toko. Nenek membuatnya dari anyaman rumput dan alang-alang. Aku mengangguk. Jadi saling memberi ya.

* * *

            Jadi aku harus mendekatkan diri dengan jam ini? Mendekatkan diri yang seperti apa? Sekarang dia ada di tanganku, kurang dekat apa? Tapi aku tak tahu apa-apa. Aaahhhh ! aku mengacak-acak rambutku sembari berbaring di atas kasur.
Aku tidak tahuuuuu ! ! !
Aku berbaring, telungkup, telentang, duduk, sambil terus menatap jam tua itu. Jarumnya masih berdetak. Jamnya juga akurat. Hanya saja aromanya sudah sangat antik. Aroma jam tua. Aku mengambil wadah jam hasil anyaman Nenek. Mengamatinya pelan-pelan. Diberikan kepada laki-laki yang kusuka?
Ada. Ada yang kusuka, tapi aku tak mau bertemu dengannya. Bukannya malu. Ya memang malu juga sih,  tapi lebih kepada tidak percaya diri. Dia kan juga paling tak mau dekat-dekat dengan aku si gadis aneh. Aneh, suka keluyuran saat jam olahraga. Suka menyendiri, dan menggambar makhluk-makhluk tidak jelas di bagian belakang buku. Suka tertawa-tawa sendiri (padahal aku tertawa karena ingat hal lucu), dan sebagainya. Apa kalau ini kuberikan padanya nanti aku tahu maksud dari jam tangan tua ini?
Ya Tuhaaaan, aku pusing !
            Keesokana harinya, saat aku main ke rumah Nenek, Nenek bertanya lagi padaku apa aku sudah memberikannya. Kubilang belum. Pantas, gumamnya. Haa???? (sungguh aku ingin memencet tombol pengaktifan kembali rasa sok tahuku, tapi aku tak menemukannya).
Jangan kemari lagi sebelum kau berikan jam tangannya. Pesan Nenek.

* * *

Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Hhhh......
Jadi aku harus memberikannya? Hari ini?
Aku sungguh tak percaya diri. Alasannya apa aku memberikan jam ini? Bagaimana kalau dia tidak suka? Ini kan jam tua, modelnya saja sudah pasti ketinggalan jaman. Remaja seusia kami mana suka dengan modelnya. Kalau dia menolak, aku harus bagaimana? Kalau aku kemudian semakin terlihat aneh di matanya, aku? aaaaahhh... tidak tidak tidak tidak ! aku tidak bisa memberikannya !
Hari itu aku gagal memberikan jam tangan Nenek pada laki-laki yang kusuka. Aku pulang, tanpa mampir ke rumah nenek.

* * *
Sedikit mengenai laki-laki yang kusuka. Dia keren dan beken. Di sekolah jadi idola, meski orang tahu jika sebenarnya dia playboy, narsis pula . Sering ada gadis yang mengaku pacarnya, bahkan dari sekolah lain. Repot-repot mereka datang ke sini hanya untuk bertemu dengannya. Luar biasa sekali bukan playboy ini. Meksi begitu, dia memang hebat. Pintar bermain gitar, kritis, suka membantu, dan pekerja keras. Menyebalkan bukan,  predikat playboy-nya seolah tak  berpengaruh karena kelebihan-kelebihannya yang lain. Dan lebih menyebalkan lagi aku pun tak sanggup menolak pesonanya. Lalu, disitulah letak kesulitannya! Aku ini apa? Siapa? Bisa apa? Mahir apa? Bisa dibilang aku sendiri juga tidak tahu aku jago dalam hal apa. Sangat rendahan jika di dalam kelas. Beda dengan dia yang kusuka, cahayanya terang menyinari seisi kelas dan membuat semua gadis-gadis terpesona. Sangat berlawanan bukan? Menyebalkan (sekali lagi), padahal dia playboy!
Tapi dia tidak jahat, tidak memanfaatkan gadis jelek sepertiku untuk mengeruk keuntungan. Kalau dipikir-pikir, dia memang tidak pernah minta ini-itu kepada gadis-gadis yang mendekatinya. Gadis-gadis itu sendiri yang suka dekat-dekat. Hanya saja memang, nanti dia suka merayu atau melakukan kegiatan gombalnya setelah si gadis memberikannya sesuatu. Siapa gadis yang tidak meleleh kalau kena gombalannya? Laki-laki sekeren itu! Hmm... Kira-kira dikemanakan ya semua pemberian itu? Pasti bertumpuk di dalam tasnya, dan nanti saat pulang digabungkan dengan semua yang ada di kamarnya. Banyak! Iya kan? Pasti banyak. Aku sok tahu, bahkan kepada orang yang kusuka.
Aku berbaring di kasur, kembali memandangi jam tua dari nenek. Aku sebenarnya ingin tahu. Aku baru pertama kalinya bertemu dengan nenek, tapi kenapa tiba-tiba nenek memberikan jam ini kepadaku? Aku ingin bertanya, tapi bagaimana mau bertanya lebih kalau kubilang jamnya belum kuberikan pada laki-laki itu. Nenek kan tidak mau memberitahu apa-apa sebelum aku menyerahkannya. Jadi, aku ini di posisi membingungkan ya? Aku hanya perlu memberikan jamnya kan? Aah, tapi masalahnya bukan hal mudah buatku memberikan sesuatu kepada orang yang kusuka. Aku ini lebih kepada pengagum rahasia, karena aku tidak mau laki-laki itu tahu kalau aku suka padanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana saat aku memanggil namanya nanti, menatap wajahnya nanti, dan kemudian memberikan sebuah kotak berisi jam tangan itu padanya. Aku harus menghimpun tenaga yang banyak kan. Keringatku pasti bocor, napasku pasti tidak beraturan, jantungku pasti berlari lebih cepat. Ketika itu aku tahu pasti dia menyadari diriku yang jatuh cinta. Nanti dia tahu kalau aku suka dia. Gadis jelek yang tidak beken sama sekali. Aaahhhh, bukannya memalukan?! Lantas orang-orang di sekolah itu pasti langsung mentertawakan aku. Aku semakin merasa akan jadi makhluk yang paling menyedihkan di sekolah. Hufftt.....
Aku sudah tiga hari tidak bertemu nenek. Ini tidak boleh terjadi lebih lama lagi. Aku ingin tahu jawaban nenek. Aku sungguh penasaran, sangat. Maka aku mencoba menghimpun kekuatan untuk lusa, dimana aku akan coba lagi memberikan jam tangan itu. Hei, laki-laki playboy, maukah menerima jam tangan dariku ini?
* * *

Akhirnya hari itu tiba. Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Aku harus tenang, sebisa mungkin jangan gugup. Jangan sampai menampakkan wajah malu-malu yang menandakan bahwa aku suka padanya. Biasa saja, panggil orangnya, lalu berikan jam tangannya, sudah. Katakan itu dari seorang nenek dan kembalilah ke kelas, membaca buku seperti biasa. Biar, biar saja saat dia bingung kenapa jam itu dari nenek-nenek. Aku saja bingung, apalagi dia.

“Hei, sebentar,” kataku
Dia tampak terkejut. Benar kan, dia pasti kaget disapa gadis paling tidak beken di sekolah ini. Dia menunjuk hidungnya tanda bertanya. Aku mengangguk.
“Ada yang ingin kubicarakan sebentar di sana ya, sebentar hanya 2 menit.” Aku langsung berjalan keluar. Berdiri di bawah pohon samping pagar sekolah.
Meski bingung, dia mengikutiku. Aku sibuk menyembunyikan kotak jam tangannya dengan tanganku. Tanganku tak cukup besar untuk menutupi kotak itu agar tidak kelihatan. Beda dengan dia, kalau dia pasti bisa, karena tangannya besar.
“Ada apa?,” tanyanya begitu kami sampai di bawah pohon.
Aku menarik napas panjang. Pelan-pelan menatap wajahnya.  Berkedip sebentar agak dalam.
Sebentar kemudian aku menyerahkan kotak itu. kotak berisi jam tangan tua dari nenek.
Dia menatapku sambil mengeryitkan dahi.
“Buatku?”
Aku mengangguk.
“Hee? Ternyata sama juga dengan yang lain..
Aku menyela ucapannya. “Nggak, itu dari nenek di kebun belakang sekolah”.
Aku tahu dia pasti bingung mendengarnya. Sebelum dia bertanya lebih banyak aku putuskan untuk pamit dan berlari ke kelas. Sudah, yang penting aku sudah berikan. Apapun cara penyampaiannya yang penting aku sudah berikan. Pulang sekolah nanti aku akan ke rumah nenek, aku akan laporan dan meminta penjelasan yang lebih lengkap pada nenek.
* * *
“Hei apa sih?” Dia datang ke mejaku dan itu membuat kelas hening seketika. Seisi kelas melihat ke arah kami.

“Maksudmu ada nenek-nenek suka padaku? Nenek itu memberikan apa? Ini kosong”, katanya.

Hah?!!! Aku seketika berdiri dan merampas kotak anyaman berisi jam tangan itu. Jujur ucapannya yang mengatakan ada nenek-nenek menyukainya itu membuatku hampir tertawa, tetapi ketik adia mengatakan isinya kosong, aku bahkan lupa kalau aku ingin tertawa.

“Ada, harusnya ada,” kataku.

Aku ingat betul, sesaat sebelum kuberikan tadi aku sudah pastikan jamnya ada di sana. Aku sempat membukanya lagi sebentar. Tapi, kenapa hilang?
Tanpa mempedulikannya, aku berlari ke luar kelas. Bukan, ke luar sekolah. Aku akan ke rumah nenek sekarang!

“Tunggu!” katanya lagi.

Aku sudah tak peduli, aku Cuma mau bertanya pada nenek. Aku semakin tidak paham. Jamnya ada kan, berhari-hari kupegang dan kuamati. Aku pikir kami semakin dekat sehingga aku bisa memahami jam itu. Tapi kenyataannya jam itu menghilang? Aku tak berhasil melakukan pendekatan? Jam itu apa bernyawa? Tidak mungkin benda seperti itu bernyawa. Lantas jika tak bernyawa, kemana perginya? Jatuh? Ah, iya mungkin jatuh dan tak ada yang menyadari bahwa dia jatuh. Lalu, mengapa aku masih berlari? Bukankah itu jawaban yang masuk akal sekali.

“Kau mau kemana?” tanyanya

“Ke rumah nenek”

“Nenek mana?” tanyanya lagi.

Aku sampai di belakang sekolah, di padang rumput dan alang-alang. Aku terus berlari, berlari ke dalam sampai aku melihat bangunan tua itu. Bangunan tua dengan wangi kayu yang khas. Aku menginjak rumput demi rumput, menyibak alang-alang, bersiap-siap berlari menuju pintu rumah dan mengetuk dengan keras.
Tapi dimana? Mengapa terasa jauh? Rumah nenek seharusnya sudah terlihat.

“Di sana tidak ada apa-apa, rumah nenek siapa yang kamu cari?”

Aku menoleh ke arahnya.

“ Di situ, rumah nenek. Nenek yang memberikan jam tangan itu, yang kuberikan padamu,” kataku terengah-engah sambil menunjuk arah rumah yang bahkan tidak ada bangunan apapun yang berdiri di sana. Seharusnya ini bukan sekedar padang ialang. Setelah menyibak kumpulam rumput dan alang-alang kita akan menemukan kebun yang hijau, di dekatnya ada rumah tua sederhana yang bersih dan rapi. Di sana ada nenek, seorang nenek tua yang tinggal sendirian dengan barang-barang anyamannya.

“Kamu bodoh ya, sejauh apapun kau mencari tidak akan pernah ada rumah. Memang tidak ada apa-apa di sini selain padang ilalang”.

Aku tak mengerti, sungguh tak mengerti. Aku masih terus menyusuri jalan di depanku. Namun, semakin aku terus berjalan aku benar-benar tak melihat satu bangunan apapun. Semua hanyalah hamparan tanah dengan rumput dan alang-alang yang saling bergoyang ditiup angin. Semakin lama angin yang berhembus semakin dingin. Aku merinding. Aku berjongkok dan kemudian  menggigil. Aku tak sanggup berpikir apa-apa lagi. Dimana rumah nenek? Tombol rasa sok tahuku bahkan telah mati oleh tarian bisu sepasukan rumput dan alang-alang yang bergerak bak arloji.
Kemana nenek pergi?

1st May, 2014.