Anzi pulang. Begitu isi
email dari Satsuki.
Aku melihat dari
kaca kamarku. Rumah di seberang sana, anak laki-laki di keluarganya sedang
pulang. Seorang musisi hebat sekarang, sudah terkenal.
Aku memeluk
lutuku di atas kasur.
Aku senang. Iya,
sangat senang. Sudah cukup lama ia tak pulang, mungkin kali ini sedang ada
waktu senggang hingga ia memutuskan untuk pulang. Email dari Satsuki kuterima
lima menit yang lalu, sekarang masih pukul enam pagi. Aku sangat ingin
menemuinya, aku sangat rindu. Rindu padanya.
Aku memejamkan
mata.
Aku tak mungkin
menemuinya sekarang, meski Satsuki telah memberitahuku. Ia baru saja sampai,
tak sopan jika aku langsung datang menemui. Tentu ia ingin menikmati waktunya
bersama keluarga. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah, apa aku berani
menemuinya?
Ah, kau pasti senang ya Satsuki. Aku juga turut
senang. Aku akan menyempatkan diri kesana, mungkin bersama ibu. Aku membalas email Satsuki.
Alasan.
Aku menulis akan
menyempatkan diri kesana bersama ibu. Padahal aku tak tahu apa aku berani
datang. Aku tak punya wajah untuk bertemu dengannya.
Aku merebahkan
diri di atas kasur. Menghela napas...
“Nina!” ibu
mengetuk pintu kamar seraya memanggil namaku.
“Apa kau belum
bangun? Ini sudah pagi, ayo bantu ibu.”
Aku beringsut
malas.
“Aku sudah
bangun sejak tadi, iya aku keluar.” Tukasku malas.
Aku membuka
pintu kamarku, menuruni tangga dan menemui ibu di dapur.
Kulihat banyak
tepung dan peralatan membuat kue lainnya di atas meja.
“Kue?” tanyaku
Aku mengambil
gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Aku haus.
“Iya, Satsuki
bilang dia sudah memberitahumu kalau Anzi pulang. Jadi ibu mau buatkan kue
untuk sekalian kau antar kesana.”
Uhuk ! Aku
tersedak.
“Me-memangnya
siapa yang mau kesana?” tanyaku. Masih sakit karena tersedak.
“Hee kau ini
apa-apaan, tadi Satsuki menelpon ibu. Anzi pulang, baru saja sampai tadi.
Satsuki bilang kau mau datang bersama ibu.”
“A-aku tidak
begitu serius mengatakan itu,” jawabku pelan.
“Ibu akan pergi
beberapa hari ini, jadi ibu buatkan kue sebagai tanda permintaan maaf. Kau
bawalah kue ini. Ibu akan menelpon mereka sebelum berangkat nanti.” Ibu seperti
tak menghiraukan jawabanku.
Ah.. Ibu, kau
mendesakku namanya, meski tanpa ibu sadari.
“Ibu mau kemana
lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Keluar kota dua
hari ini. Maaf ya ibu tidak memberitahumu sebelumnya, ini mendadak. Semalam
baru diputuskan.’’
“Mengunjungi
petani di daerah mana lagi?” tanyaku.
Ibu malah
tersenyum senang.
“Tidak begitu
jauh, mereka tengah mengembangkan jenis apel baru. Lebih manis dan lebih besar,
hebat kan?” Ibu terlihat sumringah.
“Kenapa
mendadak?” aku menggeser kursi di posisi yang nyaman dan mendudukinya. Melihat
ibu mengeluarkan tepung, telur, dan gula.
“Kau tahu jadwal
mengajar ibu padat, jadi semalam ibu baru menginformasikan jika dua hari ini
ibu kosong.”
Aku diam.
Memandang kosong ke depan sambil meminum kembali air di tanganku.
“Aduk ini Nina.”
Aku menurunkan
pandangan, meski masih kosong. Aku meletakkan gelas dan meraih wadah yang
berisi adonan, mengaduknya tanpa menatap.
“kalau sudah
rata campurkan ke dalam adonan di mixer,
masukkan sedikit demi sedikit.”
“Ini membuat
apa?” tanyaku
“Hanya cake
biasa.”
“Kenapa tidak
membuat chocolate banana crepe saja?”
Hup ! Aku menutup mulutku.
Ya Tuhan, di
saat seperti ini pun aku memikirkan makanan kesukaannya.
Ibu memandangku
dan tersenyum.
“Ini kan
mendadak Nina, bahan yang ada hanya bisa untuk membuat cake. Tapi tenang saja,
kita punya persediaan pisang kan,nanti ibu buat menjadi chocolate banana cake.” Ibu mengedipkan mata padaku.
Aku tersipu. Ah,
malunya.
* * *
Sebetulnya sebelum ini
Anzi juga pernah pulang, sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu ia juga sudah
menjadi musisi, tapi bandnya belum setenar seperti sekarang. Sejak lima tahun
yang lalu, kami belum pernah bertemu lagi. Terlebih saat itu aku membuatnya
marah.
Kami
teman sejak kecil. Aku seumur dengan Satsuki, tapi Anzi lima tahun lebih tua.
Aku dan Satsuki teman baik. Keluarga kami sudah seperti saudara, akrab sekali.
Aku sering bermain ke rumah Satsuki, sampai menginap segala. Terkadang Satsuki
juga begitu. Kami sudah sangat mengenal luar-dalam. Karena begitu dekatnya, aku
pikir aku jatuh cinta pada Anzi, kakak Satsuki sejak mulai remaja. Aku tahu
Anzi sangat jahil. Ia sering membuat Satsuki menangis. Kalau sudah begitu aku
yang akan menghibur Satsuki. Sebetulnya aku juga sering jadi korban
kejahilannya. Ibu adalah salah satu orang yang ahli dalam bidang pertanian dan
perkebunan. Ibu suka membawa strawberry dari kerabatnya. Kalau sedang main di
rumahku Anzi pasti menghabiskan strawberry itu, terkadang meski sudah diberi
oleh ibu, ia masih suka mengambil bagianku. Tapi anehnya aku tak merasa
keberatan akan hal itu. pikirku jika Anzi dan Satsuki senang, aku juga senang.
Saat itu kupikir begitu, namun lambat laun saat mulai remaja kupikir perasaan
sukaku terhadap Anzi berbeda dengan rasa sukaku terhadap Satsuki. Aku merasa
kesepian jika tak bersamanya, setiap saat rasanya ingin bertemu, jika sudah
bertemu rasanya hatiku menjadi hangat saat melihat senyumnya. Hatiku berdegup.
Degupan yang sama sekali tak kurasakan ketika bersama dengan Satsuki.
“Nina, kau suka
Anzi?” tanya Satsuki suatu hari.
Aku terperanjat.
Sekuat tenaga kukatakan bahwa itu tidak benar. Tetapi ucapan Satsuki justru
membuatku lebih terkejut lagi.
“Aku senang
kalau Nina benar-benar suka Anzi. Buatku Nina adalah yang paling baik dan cocok
untuk Anzi.”
“Ke-kenapa begitu?”
tanyaku tak percaya.
“Anzi itu genit,
iseng, menyebalkan. Kalau Nina jadi pacar Anzi, aku pasti aman karena Nina akan
melindungi aku dari keisengannya setiap hari,” tukas Sastsuki sambil cemberut.
Aku tertawa
kecil.
“Sekarang pun
aku selalu bersama Satsuki kan, jadi tidak usah khawatir,” kataku.
“Aaah iya betul.
Tapi aku lebih senang kalau Nina jadi pacar kakakku,” satsuki memelukku.
Dalam hatiku
ketika itu rasanya bahagia. Satsuki tidak keberatan kalau aku suka Anzi kan?
Tapi Anzi????
Aku
dan Satsuki tumbuh menjadi anak yang periang. Kami selalu bersama kemanapun
kami pergi. Aku selalu bermain ke rumah Satsuki meski terkadang di sana juga
ada Anzi dan teman-temannya, teman-teman kuliahnya. Sesekali aku mendengar
pembicaraan mereka, termasuk ketika ada salah seorang yang bertanya tipe wanita
kesukaan Anzi.
“Aku kan keren,
jadi harus punya pacar yang cantik dan terlihat dewasa dong,” ujarnya sambil
tertawa.
Sejak mendengar
itu, aku sering mematut diri di depan kaca. Apa aku sudah terlihat cantik? Apa
aku tinggi seperti layaknya wanita dewasa? Apa aku termasuk ke dalam tipe
kesukaan Anzi? Sejak saat itu aku sering berdandan, memanjangkan rambut, dan
berusaha terlihat dewasa. Padahal kan aku masih SMP.
Satsuki yang
menangkap gelagat anehku mulai bertanya.
“Nina kenapa?”
tanyanya lugu.
‘’Eh? Apa?” aku
pura-pura tak tahu.
“Nina merubah
penampilan belakangan ini, juga lebih pendiam dari biasanya.”
“A-apa iya?”
Satsuki
mengangguk mantap.
“O-oh, a-aku
pikir karena sudah mau SMA jadi harus terlihat lebih dewasa se-sedikit,” aku
beralasan.
Satsuki
menatapku seolah tak percaya.
“Oke, alasan
saat ini diterima” ujar Satsuki sambil melipat tangan di dada.
Begitulah, setiap hari aku berusaha
tampil bagaikan seorang wanita kesukaan Anzi. Aku juga selalu membantu Anzi
saat ia kesulitan. Tanpa kusadari perilakuku semakin membuat Satsuki
terheran-heran.
“Setiap kakak
bermain biola, Nina terlihat sangat menikmati ya,” ujar Satsuki.
“I-iya
soalnya... aku suka bunyi biola.” Aku gugup
“Kenapa tidak
minta ajari kakak saja, nanti aku yang
bilang.”
“E-eh jangan
Satsuki, tidak usah,” tolakku
“Kenapa?”
“Percuma, ayahku
benci musik. Nanti aku dimarahi,” aku menunduk.
“Paman itu
aneh.”
Bagiku
Anzi adalah pemain biola terbaik di dunia. Saat aku melihatnya memegang biola,
auranya terpancar sangat dalam. Anzi seperti pangeran di kastil yang ada di
komik-komik. Indah sekali. Bagiku yang sama sekali tak pernah bisa menyentuh
alat musik ini, melihatnya bermain biola amat membuatku bahagia. Aku semakin
terpesona oleh kakak Satsuki itu, tapi...
“Perkenalkan ini
adikku Satsuki, dan temannya Nina.”
Anzi
memperkenalkan kami pada seorang wanita cantik berambut panjang dengan tinggi
semampai di suatu sore yang cerah.
“Nina sudah
kuanggap seperti adikku sendiri, jadi selain dengan Satsuki kau juga harus
akrab dengan Nina,” ujar Anzi.
Deg! Adik.
Anzi menganggapku sebagai adiknya.
“Satsuki, Nina,
perkenalkan ini pa-pacarku,” ujar Anzi malu-malu.
Seketika hatiku
bagai tertusuk sembilu. Ucapannya yang mengatakan aku adiknya sudah seperti
menohok perasaanku. Ditambah ketika ia mengatakan bahwa perempuan itu adalah
pacarnya. Aku sekuat tenaga menahan perih di hatiku. Aku berpura-pura tersenyum
dan berbicara ramah di depan wanita itu. Dia sosok wanita yang benar-benar
mirip dengan tipe kesukaan Anzi yang pernah dikatakannya dulu. Cantik, dewasa,
berambut panjang, dengan tinggi yang sepadan dengannya. Aku melihat ke dalam
diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh. Betapa aku berusaha terlihat dewasa
dengan memanjangkan rambut dan sedikit berdandan, Anzi takkan pernah
menyukaiku. Nyatanya sejak dulu ia hanya menganggapku seperti adiknya. Bodohnya
aku, selama ini untuk apa aku bersusah payah bersifat dewasa dan pendiam? Aku
tetap hanyalah siswi sekolahan. Bocah ingusan.
Hari itu aku pulang dengan menahan
tangis. Setelah pamit aku berlari lewat pintu samping. Di depan masih ada
wanita itu bersama Anzi. Aku tak mungkin sanggup melihatnya.
“Ninaaa!”
Satsuki memanggilku. Ia meraih tanganku.
“Nina menangis?”
Satsuki melihat air mataku.
Kali ini aku tak
tahu apalagi yang harus kukatakan pada Satsuki. Aku tak tahu harus menjelaskan
apa tentang air mataku.
“Nina suka Anzi
kaaan? Iya kaan Nina???” Satsuki menodongku, mukanya tampak khawatir.
Aku tak menjawab
tangisku semakin keras.
“Kenapa Nina tak
jujur sejak dulu, aku tahu Nina suka Anzi sejak lama. Aku tahu Nina,” Satsuki
menghapus air mataku.
“Nina tak
mengatakannya pun aku tahu. Karena sangat
terlihat Nina suka Anzi.”
Aku masih
sesunggukan.
“Ma-maaf
Satsuki,”hanya itu yang bisa kukatakan.
Hari itu,
Satsuki mengantarku sampai ke kamar. Di kamar aku mencurahkan semua yang selama
ini aku rasakan. Satsuki memelukku, ia tahu aku menyukai Anzi. Tapi ia tak tahu
jika cintaku sebesar itu. Kini tak ada gunanya lagi aku berjuang, Anzi sudah
memiliki kekasih yang cantik dan dewasa. Anzi tak kan pernah melirikku,
sedikitpun. Selamanya aku hanyalah adiknya.
“Aku akan
beritahu kakak, supaya ia memutuskan wanita itu
Nina,” Satsuki berucap padaku keesokan harinya.
Aku terkejut.
“Jangan Satsuki,
jangan!” tolakku keras.
“Kenapa? Aku mau
Nina yang jadi pacar Anzi, bukan wanita itu!”
“Bukan begini
Satsuki. Bukan begini caranya andai aku jadi pacarnya sekali pun.”
“Aku sudah
memikirkan ini semalam Nina.”
Aku menggeleng
dan memegang pundak Satsuki.
“Satsuki, aku
melihat Anzi mencintai wanita itu. Anzi terlihat bahagia. Asal dia bahagia aku
juga. Tak apa tak menjadi pacarnya. Toh kita sudah bersama-sama sejak kecil,”
ujarku perlahan.
“Tapi kau
menangis Ninaaaa, kau menangis!!!!’’
Aku menunduk.
“Kumohon jangan
beritahu Anzi. Satsuki, kumohon,” aku berkata lirih.
“kenapa?”
Satsuki memelankan suaranya.
Kenapa? Satsuki, aku takut jika dia sampai tahu
kalau aku menyukainya. Aku yang anak kecil ini. Dia pasti marah. Aku takut.
Kata-kata itu,
hanya bisa kuucap di dalam hatiku. Tak sedikitpun kata yang bisa kukatakan pada
Satsuki. Tak satupun.
“Jangan, kumohon
Satsuki,” ujarku lagi, pelan.
“Nina....
Dan Satsuki
hanya bisa melihatku kembali mengeluarkan air mata hari itu. Ia memelukku,
erat.
* * *
“Sudah jadi,”
Ibu tersenyum senang.
“Nah Nina, ibu
akan menelepon Satsuki dan mengatakan bahwa kau akan kesana. Sekalian Ibu akan
pamit.” Lanjut Ibu seraya pergi ke ruang tengah.
Aku hanya
terdiam.
Yah, aku bisa
apa kalau sudah begini. Salahku juga karena mengatakan akan kesana bersama ibu.
Harusnya bilang saja, Oh Satsuki kau
pasti senang ya, kalau kau senang aku juga. Sudah, begitu saja seharusnya
kan. Kenapa aku bodoh sekali.
Sayup sayup
terdengar pembicaraan Ibu.
Ah iya, maaf aku berhalangan. Ada keperluan, tapi
nanti Nina yang akan kesana. Pasti. Sejurus
kemudian Ibu tertawa senang.
Bicara dengan
Satsuki? Kenapa bahagia sekali nada bicaranya.
Iya nanti Bibi bawakan oleh-oleh ya. Haha... Maaf
ya, terima kasih sudah memaklumi.
Klik! Telepon
ditutup.
Aku menuang air
lagi. Haus untuk yang kedua kali. Tentu saja, sedari tadi aku kan membantu Ibu.
“Nina, ibu sudah
pesan. Anzi senang sekali ibu buatkan kue.”
Anzi?
“Tadi yang
angkat teleponnya Anzi, jadi langsung saja Ibu bicara dengannya.”
Uhuk! Uhuk! Aku
tersedak lagi. Kali ini lebih sakit rasanya tenggorokanku.
“Heeh, kenapa
kaget begitu sih,” Ibu menggodaku.
Aku meletakkan
gelas dan berusaha menenangkan diri agar aku tak tersedak lagi.
“Ibu jangan
menggodaku,” tukasku kesal.
“Hmmm? Memangnya
Ibu menggoda ya? Haha...”
Ah Ibu
menyebalkan.
“Yasudah, Ibu
mau bersiap berangkat. Kau kemasi kue itu dan segera antar.”
Aku menatap Ibu
yang masuk ke dalam kamar dan kue di atas meja bergantian.
Ya Tuhaaan,
hufftt.....
Aku menghela
napas.
Lima belas menit kemudian Ibu sudah
bersiap mengeluarkan mobil dari garasi. Ibu terbiasa menyetir sendiri, bahkan
ke luar kota sekalipun.
“Belum kau
kemasi juga kuenya?”
Aku hanya diam.
“Ckck.. Ninaa,
ibu tidak mau tahu ibu pergi kau sudah harus mengantarkannya. Jangan lupa”
ancam Ibu. Sejurus kemudian, mobil yang dikendarai Ibu sudah hilang dari
pandangan.
Aaaaah, Ibu pasti sengaja menggodaku,mengerjaiku.
Sengajaaaaa!! Aku mengacak-acak
rambutku.
Aku masuk ke
dalam dan menjatuhkan diri ke atas sofa.
Hufft hufft...
aku meniup-niup poniku sendiri.
Tiga tahun lalu,
terkahir kali kepulangan Anzi sebelum hari ini Ibu mengetahui bahwa aku
mencintai Anzi. Bukannya menghiburku, Ibu justru malah rajin menggodaku.
Tiga tahun lalu
Anzi putus dengan pacarnya. Anzi sangat kecewa, tapi tidak dengan Satsuki.
“Ninaaaaa, Anzi
putuss. Aku senaaaang,” ujarnya hari itu.
“Satsuki kenapa
kau malah senang? Dia pasti sangat sedih kan?”
“Biar saja, aku
sudah beritahu dia kalau wanita itu tidak cocok untuknya tapi dia malah
membelanya terus. Sekarang rasakan, huh!”
Aku tediam
sejenak.
“Kenapa mereka
bisa putus?” tanyaku
“Kau tahu,
kakakku yang keren itu sudah dicampakkan!”
Apa?!!! Anzi
dicampakkan?
“Ke-kenapa
bisa?”
“Yaaah,
sepertinya wanita itu tidak bisa menunggu sampai Anzi bisa sukses. Kau tahu
sejak Anzi mengenal gitar ia tak lagi menyentuh bioalnya. Anzi sangat ingin
memiliki band metal. Perjalanan kan tidak mudah, eh wanita itu meninggalkannya
begitu saja.”
Benarkah?
Kasihan Anzi, dia pasti sangat sedih dan terpukul.
“Kau senang kan
Ninaaaa???? Ayo Nina saatnya kau maju!” Satsuki menyenggol-nyenggol lenganku.
“E-eh? Ng....
“Kenapa? Kau
harusnya senang kan Nina??”
Iya, tidak bisa
kupingkiri kalau aku senang begitu tahu mereka putus. Tapi, jika Anzi sedih
seperti ini, aku...
“Anzi pasti
sedih kan? Aku rasa aku tak boleh bahagia di atas penderitaan orang lain.”
Satsuki menepuk
keningnya.
“Kau ini naif
atau apa Nina? Ini kesempatanmu.”
“Satsuki terima
kasih, aku tahu tapi.. aku rasa aku tak akan melakukan apapun hingga luka di
hati Anzi sembuh.”
Satsuki terdiam.
“Ninaaa, kau
memang baik tapi kalau kau tak cepat nanti kakakku bisa diambil wanita lain.
Kau tahu aku hanya mau kau yang jadi pacar kakak!!” Satsuki bersungut-sungut.
Bingung.
Sejujurnya aku bingung, mungkin benar aku naif. Aku senang kan? Tapi aku
seperti ingin membuat segala sesuatunya memiliki waktu. Tidak secepat itu.
“Bagaimana?”
Aku menatap
Satsuki.
“Biarkan aku
memikirkannya ya Sacchan?” aku memohon.
Satsuki
mengacak-acak rambutnya.
“Oke, baiklah
tapi jangan terlalu lama. Ingat nanti Anzi diambil orang lain.”
Ucapan Satsuki
hari itu seperti ancaman, tapi aku seolah tak menghiraukan ancaman itu. Sebulan
setelahnya aku masih tak melakukan apapun, meski sebenarnya aku takut, aku
takut ucapan Satsuki ada benarnya. Laki-laki sekeren Anzi pasti banyak yang
suka, terlebih meski belum terlalu terkenal dia sudah menjadi artis. Namun,
jika aku melihatnya aku sungguh tak bisa berbuat apapun. Anzi seperti masih
belum bisa menghilangkan rasa sakit hatinya, ia masih kecewa dan marah. Mana
mungkin aku mengatakan kalau aku suka dia dengan keadaan seperti itu.
Sampai akhirnya, hari itu tiba. Ibu baru saja
kembali dari luar kota membawakan oleh-oleh. Aku diperintahkan untuk
membawakannya untuk keluarga Satsuki. Aku melewati pintu depan, dan tanpa
sengaja aku mendengar suara Satsuki dan Anzi yang tengah beradu mulut.
“Aku kesal
kenapa kau masih saja begini. Kamu kan laki-laki Anzi, berhentilah seperti ini
dan keluarlah cari hiburan dan kesenangan yang lain!”
“Jangan ikut
campur! Apa yang kau tahu tentang perasaanku!”
“Apa yang kutahu
katamu? Dengar ya, aku muak melihatmu menjadi temperamen begini. Hanya
gara-gara wanita itu? sebesar itu kah cintamu sampai-sampai sebulan ini kau
frustasi?”
Anzi hanya
terdiam.
“Tunjukkan kalau
kau laki-laki kuat! Cih, pasti wanita itu senang melihat betapa kau tak bisa
melupakannya. Padahal dia sudah bahagia dengan laki-laki lain. Kau tak merasa
betapa bodohnya kau haaa???!”
Ya Tuhaaan, aku
rasa sebaiknya aku pulang. Nanti saja aku memberikannya, kalau keadaan sudah
damai. Satsuki seram kalau sudah marah.
Aku baru saja
beringsut untuk pulang, tetapi...
“Kau bodoh masih
memikirkan wanita yang sudah mencampakkanmu sementara ada gadis baik hati yang
sejak dulu selalu mencintaimu!” Satsuki setengah berteriak.
Deg!
Apa ini? Apa
yang ingin Satsuki katakan?
“Apa maksudmu?”
tanya Anzi.
“Kau tak
menyadarinya juga??? Nina mencintaimu sejak dulu Anzi, sejak duluuuu!!!!”
Sa-Satsuki ! ! !
Aku bagai tersambar petir di siang hari.
Apa yang kau
katakan Satsuki???!!!! Apa????!!!!!
Aku menutup
mulutku.
Ya Tuhan, tak
mungkin. Kenapa Satsuki mengatakannya pada Anzi??
“Haaa??? Anak
kecil itu kau bilang?” kata Anzi.
A-anak kecil.
Aku anak kecil.......
Mataku mulai
panas.
“Kejam kamu, kau
bilang Nina anak kecil??” Satsuki geram.
“Dia memang anak
kecil, dia seumur denganmu.”
“Kau ini
apa-apaan. Dia kecil, dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Dia sudah 20
tahun sekarang. Dia sudah dewasa Anzi!!!”
“Lalu kenapa?
Dia sudah kuanggap seperti kau, adikku! Kau pikir aku bisa mencintai gadis
kecil seperti dia?”
“Anzi dia bukan
gadis kecil!”
“Lalu apa, anak
kecil?”
“Anzi!!” Satsuki
membentak.
Air mata telah
menganak sungai di mataku.
Ya Tuhan, sudah
kuduga Anzi tak pernah memiliki perasaan kepadaku selain sebagai adiknya. Itu
semua memang sudah jelas sejak dulu. Apa yang kulakukan? Apa yang kuharapkan
hingga aku masih mau berdiri disini? Ayo pulang Nina, pulaaang.
Begitu aku
hendak berlari pulang, keranjang buah di tanganku terjatuh. Suaranya terdengar
hingga ke dalam. Seseorang membuka pintu. Satsuki.
“Nina....,”
Satsuki tampak terkejut.
Aku memalingkan
wajah, menyembunyikan tangis.
“Nina apa kau
mendengar semuanya?”
Aku tak
menjawab, aku menutup mulutku sekencang mungkin agar suara tangisku tidak
terdengar. Tak lama Anzi muncul di bibir pintu.
“Hooh ada yang
bersangkutan, bagus. Jadi bisa langsung selesai.”
“Anzi diam! Nina
tak ada hubungannya dengan ini, ini semua salahku.” Satsuki membelaku.
“Bodoh, apanya
yang tak ada hubungannya.”
“Nina tak
bersalah, aku lah yang membocorkan rahasia. Nina tak mau kalau kau tahu.”
“Kau pikir itu
menyelesaikan masalah? Anak kecil ini diam-diam mencintaiku? Sejak kapan? Sejak
kecil?” Anzi bertanya sinis.
“Anzi!” Satsuki
membentak.
Aku semakin
terisak.
“Nina selama ini
mencemaskanmu. Bahkan saat kau putus ia amat mencemaskan dirimu yang bersedih.”
“Aku tak pernah
memintanya mencemaskanku.”
“Anzi kamu
keterlaluan.”
“Oiya lalu
kenapa dia memintamu merahasiakan Satsuki? Karena takut aku marah? Tenang saja,
aku mungkin tidak marah..” ucapannya menggantung.
“Tapi jujur saja
aku jadi malas melihat wajahnya lagi,” lanjutnya, dan ia pun masuk ke dalam.
Satsuki dan aku
terdiam.
“Nina maaf
aku...”
“Tidak apa
Satsuki,” aku memotongnya sambil terisak.
“Aku tahu inilah
yang akan terjadi seandainya ia tahu perasaanku.” Lanjutku. Aku menunduk.
“Nina aku
benar-benar minta maaf, Nina aku....”
“Aku pulang dulu
Satsuki,” lagi-lagi aku memotongnya.
Dengan setengah
berlari aku meninggalkan Satsuki. Sekeras mungkin aku menyembunyikan tangisku
agar Ibu tak melihatnya. Aku cepat-cepat menaiki tangga, memasuki kamar, dan
mengunci pintunya. Aku juga menutup kain gorden, membiarkan kamar ini
mengurungku. Di luar Ibu bertanya padaku dari balik pintu.
“Nina ada apa?
Sudah kau berikan buahnya?”
Aku tak menjawab
pertanyaan Ibu. Aku menutup wajahku dengan selimut. Aku terus terisak. Hatiku
sangat perih. Aku tak ingin Anzi membenciku, bahkan jika aku hanya bisa
mencintainya diam-diam selamanya itu tak mengapa, asal ia tak membenciku. Aku
tak ingin Anzi membenciku. Tapi apalah arti harapan itu, sekarang semua sudah
terjadi. Anzi marah, ia benar-benar membenciku.
Sejak saat itu,
aku sama sekali tak bertemu dengan Anzi. Selain aku tak berani menampakkan
diri, Anzi juga sudah kembali sibuk dengan bandnya. Iya, ia adalah artis yang
mulai dikenal banyak orang. Lantas apa pantas gadis kecil sepertiku
mencintainya. Hubunganku dengan Satsuki baik-baik saja. Setelah hari itu,
keesokan harinya Satsuki datang ke rumahku dan meminta maaf sambil menangis.
Aku memeluknya, ini sama sekali bukan salahnya. Aku tahu Satsuki ingin
membantuku, tapi perasaan Anzi memang tak bisa dibohongi. Biarlah jika ia
melihatku hanya sebagai anak kecil. Satsuki bersumpah untuk mengembalikan
hubunganku dengan Anzi seperti sedia kala. Aku hanya tersenyum. Satsuki sering
sekali mengirimkan email kepada Anzi dan menjelaskan semuanya secara detil. Aku
pikir sudahlah, aku tak perlu dibela sampai seperti itu, tapi aku juga tidak
mau mematahkan semangat Satsuki. Aku membiarkannya melakukan itu, hingga hari
ini hari dimana akhirnya Anzi kembali pulang.
*
* *
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Aku belum
membawakan kuenya juga, padahal sudah kukemas rapi. Kalau ibu tahu ia pasti
menjewerku. Oiya, Ibu mengetahui masalah ini. Hari itu saat Satsuki datang
meminta maaf sambil menangis ibuku mencuri dengar. Aku ngambek saat
mengetahuinya, tapi ibu malah tertawa. Ibu sama sekali tidak cemas. Begitu
kutanya mengapa tertawa, ibu hanya menjawab singkat.
Masa
muda memang begitu, nikmati saja ya Nina.
Begitulah,
kesannya malah menggodaku. Ah, bahkan sampai hari ini pun Ibu kerap menggodaku
terus.
Aku berjalan
menuju kulkas sambil membawa kue.
Hai kue
bersabarlah, aku berpikir dulu bagaimana sebaiknya saat memberikanmu nanti.
Kumasukkan kue
itu ke dalam kulkas. Cepat-cepat kunaik ke kamar. Aku duduk di atas kasur.
Nina, kapan kau kemari? Tadi Ibumu sudah telepon.
Aku membaca
ulang pesan Satsuki beberapa jam yang lalu.
Kamu sudah kangen kan? Ingin bertemu kaaan?
Satsuki malah
seperti menggodaku saja rasanya.
Aku lagi-lagi
mengintip melalui kaca kamarku.
Sepi. Rumahnya
terlihat sepi. Anzi tidak keluar sama sekali sepertinya. Aaaah, kenapa tidak
keluar???? Keluarlah barang sebentar saja, setidaknya aku ingin lihat seperti
apa dia sekarang. Mungkin saja kan aku jadi lebih siap atau semacamnya.
Aku menunduk.
Yaah kurasa
tidak, tidak mungkin aku siap.
Aaaaaaaaaa!!!!
Aku menggigit bantal.
Aku rindu. Aku
ingin bertemu dengannya, tapi aku takut. Aku memejamkan mata, kemudian menatap
langit-langit.
Anzi,
bertahun-tahun berlalu pun aku masih saja terus memikirkannya. Terlebih hari
ini. Aku sangat gugup, bersemangat, tetapi juga takut. Aku ingin bertemu
sungguh. Apa ini? Apakah ini bukti bahwa aku terlalu mencintainya?
Aku memeluk
guling. Ingin rasanya membalas pesan Satsuki, tapi apa yang harus kutuliskan.
Satsuki...
Aku
menghapusnya. Jangan, lebih baik tak usah.
Iya aku sebentar lagi...
Tidak tidak
tidak. Sebentar lagi kapan? Memangnya siap? Aku kembali menghapusnya.
Anzi sedang apa? Aku...
Apa-apaan
ini?!!!! Aku bilang tidak usah membalas Satsukiiiii
Aku menaruh
ponselku ke bawah bantal.
Diam! Diam!
Diaaaam! Biarkan ponsel itu tidur di
bawah situ. Aku menutup wajahku dengan guling.
Kenapa begini?
Perasaanku kalut sekali, aku sungguh tak mengerti apa yang harus kulakukan. Kue
itu harus cepat kubawa, bagaimanapun juga ada pesan permintaan maaf Ibu di
sana. Tapi, aku tidak berani. Bagaimana jika Anzi langsung yang membukakan
pintu? Atau Satsuki, kemudian karena kue itu untuk Anzi lalu ia memanggil Anzi.
Saat bertemu Anzi apa yang harus aku katakan? Dimana harus kuletakkan wajahku??
Satsuki tolong aku...
Send!
Akhirnya malah
aku sendiri yang mengambil ponsel dari bawah bantal dan mengirimkan pesan
balasan kepada Satsuki.
Aaahhh...., aku
membenamkan wajahku di atas bantal.
Aku merasa
sangat bodoh.
* * *
“Aku juga, setelah tiga tahun berpikir aku menyadari
bahwa aku menyukai Nina.” Anzi menatapku
lembut. Senyum manisnya terkembang. Di taman ini, di bawah pohon yang rindang
dengan bunga-bunga indah, kami hanya berdua. Aku menatapnya tak percaya.
“Be-benarkah? Bagaimana bisa?” tanyaku
“Aku semakin yakin saat kumakan kue itu.”
Haaa?
Kue?
Kue apa?
“Chocolate Banana Cake yang kau buat bersama
Ibumu. Dimana kue itu sekarang?”
Kue? Dimana? Bukankah dia sudah memakannya? Kuenya??
Kueee???? Serta merta banyak kue melayang-layang di
kepalaku.
Ninaaaa,
Ninaaaa,
Ninaaaaaa
Kuenya memanggil-manggil namaku. Menyeramkan!
Ninaaaaa!!
Apaaaa???
Tidaaaaakkk!!
“Kueeee???!!!!!!’’
Aku berteriak ! aku memegang kepalaku.
He??? Apa ini?
Ini di
kamarku??? Tamannya? Anzi??? Kemana???
Kulihat jam di
dinding menunjukkan pukul 06.00. Nafasku tersengal-sengal.
Hah?!! Aku
bermimpi?? Barusan itu mimpi???
Aku melihat ke
arah jendela.
Ini sudah pagi,
jam enam pagi. Ya Tuhan jadi kemarin sore aku ketiduran?
Kue? Tiba-tiba
aku teringat dengan mimpiku. Cepat-cepat aku menuruni tangga dan membuka
kulkas.
Aku bernapas
lega. Kuenya ada di sana, masih utuh.
Aku terduduk di
lantai.
Bahkan kue ini
menerorku dalam mimpi. Anzi menyatakan cinta padaku? Mana mungkin.
Kriiiiiing!
Kriiiiiinngggg!
Aku terkejut
tiba-tiba. Bunyi telepon.
Aku segera
berdiri dan meraih gagang telepon.
“Ha-halo
keluarga Nanami disini.”
“Ninaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!”
Sa-Sat-Satsuki.
Ia berteriak kencang sekali.
“Sa-Satsuki,
a-ada apa?” tanyaku gugup.
“Ada apa
katamu???? Mau sampai kapan kau?!!! Kamu belum kesini juga???!!!!”
“Sa-Satsuki
pelankan suaramu.”
“Tidak
bisaaaa!!!!! Kau pikir berapa lama aku menunggumu haa??? Telepon!! Aku
berkali-kali menghubungi ponselmu tapi sama sekali kau tak angkat Ninaaaa!!!!!!!”
Are? Satsuki
menghubungi ponselku?
“Ma-maaf Satsuki aku...., baru bangun.”
“Apa kau
bilaaaaang? Jadi sejak kemarin aku menelponmu kau enak-enakan tidur???”
“Bu-bukan begitu
aku....”
“Kupikir kau
butuh bantuan saat kau kirim pesan tolong.” Satsuki memotong ucapanku.
“Itu pasti
tentang Anzi kan?!!!!”
“Sa-Satsuki
jangan teriak-teriak terus nanti kakakmu dengar”.
“Biar sajaa. He?
Siapa? Kakaku siapa?” Satsuki memancing.
“Ka-kakakmu.
Si-siapa lagi.” Aku berkilah.
“Aku mau tahu
kakakku yang mana, yang namanya siapa.”
“Memangnya kau
punya kakak lagi selain..ng..selaiinn.....
“Ah sudahlah.”
Lagi, Satsuki memotong perkataanku.
“Kau bahkan
masih tak bisa sebut namanya.” Lanjut Satsuki.
Aku menunduk.
“Maaf ya
Satsuki.”
“Aku tunggu kau
hari ini.”
Eh?
“Cepat kemari bawakan
kuenya, aku tidak mau tahu lagi.”
Aku terdiam
sejenak.
“Iya. Aku
kesana. Aku mandi dulu, semalam ketiduran aku lupa mandi.” Kataku pelan.
“Terserah kau
saja.”
Klik! Satsuki
menutup telepon.
Huftt.... aku
menghela napas.
Satsuki marah.
Aku berjalan menuju
kamar, bersiap-siap untuk mandi.
Aku paham kenapa
Satsuki marah. Aku sudah mengirim pesan tolong tapi apa yang aku lakukan? Aku
malah tertidur. Bahkan saat kulihat layar ponselku disana tertera 15 panggilan
masuk. Lima belas, dan semuanya adalah Satsuki. Aku ini bodoh.
Aku berendam dan
membenamkan wajahku di air.
Mau tidak mau
aku harus kesana sekarang juga. Sudah tidak bisa ditunda lagi. Satsuki sudah
kesal, bahkan kue itu pun datang ke dalam mimpi.
Mimpi?
Aku mimpi Anzi
mengatakan bahwa ia menyukaiku. Apakah...
Ah tidak ! itu
konyol, dan tidak mungkin.
Satu jam
kemudian.
Aku duduk di
depan kaca.
Sudahlah begini
saja. Tidak perlu makeup kan? Masa mau ke sebelah rumah saja pakai makeup.
Anzi loh Anzi, dia suka wanita cantik yang dewasa.
Aaaah tidak-tidak.
Mau aku berdandan seperti apa toh aku hanya anak kecil buatnya, tidak perlu
dandan segala.
Aku meraih
pelembab bibir.
Pakai ini saja
biar tidak kering. Tidak perlu yang lainnya.
Setelah
meyakinkan diri bahwa baju yang kukenakan baik, aku turun ke bawah, mengambil
kue di dalam kulkas. Aku menggunakan kaos merah lengan panjang dan rok hitam
selutut dengan motif polkadot putih. Di sisi bawahnya ada sedikit renda-renda.
Kenapa kaos berwarna merah?
Ah itu kan warna kesukaan Anzi.
Aku
menggeleng-gelengan kepala.
Kenapa kenapa
kenapa kenapaaaa. Yang selalu aku pikirkan adalah hal-hal yang disukainya
terus. Tidak bisakah aku berpikir tanpa membawa-bawanya serta.
Tidak! Sebuah
suara terdengar di kepalaku.
Aku menunduk.
Aku tahu, saat aku bertanya sesungguhnya diriku yang lain sudah tahu betul apa
jawabannya. Aku memang selalu memikirkannya. Laki-laki itu terus bersarang di
kepalaku setiap saat.
Tanpa terasa aku
sampai di depan pintu rumah Satsuki dan..... Dia.
Ayo ayo ayoooo,
apa yang pertama kali harus aku lakukan saat bertemu dengannya?
Ah, bagaimana
kalau aku panggil Satsuki terlebih dahulu. Tidak! Satsuki marah padaku, setelah
aku mengecewakannya apa pantas aku masih saja meminta bantuannya. Aku memukul
kepalaku sendiri pelan.
“Pe-permisi.”
Sapaku.
Sepi tak ada
jawaban.
“Satsukiii,”
panggilku sekali lagi.
Masih tak ada
jawaban.
Panggil saja Anzi.
Ti-tidak! Mana
mungkin aku memanggilnyaaa.
“Pa-pamaan,
Bibiiii.” Kali ini aku memanggil paman dan bibi.
Nihil! Sama
sekali tak ada jawaban dari dalam. Karena penasaran kupegang gagang pintu.
Klak! Terbuka.
Pintunya tidak
terkunci, tapi mengapa di dalam seperti tidak ada orang?
“Paman, Bibi ini
aku Nina. Aku masuk.” Aku memasuki rumah perlahan. Tiba-tiba
Praaaangg !! suara gelas kaca jatuh terdengar.
He? Ada apa?
Pencuri? Apa mungkin pencuri?
Aku meletakkan
kue di atas meja di ruang depan. Aku akan memeriksa ke dapur. Suara itu
sepertinya dari dapur. Aku berjalan dengan mengendap-endap. Kalau benar pencuri
semoga ia tak menyadari keberadaanku. Pintu depan yang tak terkunci, tak ada
seorang pun menjawab salamku, terlebih suara ribut di dapur. Tak salah lagi,
pasti pencuri.
Begitu aku
sampai di pintu dapur, aku melihat tangan seseorang terjulur di lantai.
Badannya terhalang meja. Aku mendekatinya perlahan. Maling itu pingsan? Mungkin
paman dan bibi sudah memasang jebakan untuk maling (ini seperti tikus saja).
Namun betapa terkejutnya aku begitu aku mendekati sosok yang terjatuh di lantai
itu. Aku melihat wajahnya.
“A-Anzi!!”
seruku.
Ya Tuhan Anzi
pingsan !
“A-apa Anda
baik-baik saja?” aku meraih tubuhnya.
Ya Tuhan,
badannya panas sekali. Ia sakit.
Aku berusaha
membawa Anzi ke tempat yang lebih nyaman. Be-berat, tubuh laki-lakinya berat
sekali. Aku yang bertubuh kecil sangat kepayahan membawanya. Bagaimana ini? Aku
tak mungkin membawanya ke kamar. Kamar Anzi kan di atas, dengan tubuh sekecil
ini bagaimana cara aku membawanya ke atas?
Akhirnya aku
membaringkan tubuh Anzi di atas sofa di ruang tengah. Cepat-cepat aku ambil
selimut dan air putih hangat. Aku menyelimuti tubuhnya dan memberikannya minum.
Apa yang terjadi
padamu Anzi? Kenapa Satsuki tak memberitahuku kalau kau sakit. terlebih lagi
tak ada siapapun di sini. Kau sendirian.
Aku membuka
kulkas dan mengeluarkan es. Aku harus menurunkan suhu tubuhnya terlebih dahulu,
jika nanti Satsuki atau paman dan bibi kembali barulah memanggil atau
membawanya ke dokter.
“Sa-Satsuki.”
Terdengar suara Anzi merintih memanggil Satsuki. Cepat-cepat aku kembali ke
ruang tengah. Aku segera mengompresnya dan menyeka keringat di wajah serta
lehernya.
“Satsuki.”
Panggil Anzi lagi.
Glek! Aku
menelan ludah. Laki-laki itu, laki-laki yang aku cintai sekarang ada di depan
mataku. Aku menyeka wajahnya. Ia sa-sangat tampan bahkan saat kepayahan seperti
ini.
Aku
menggeleng-gelengan kepala. Nina, apa sih yang kau pikirkan. Jangan berpikir
yang bukan-bukan dan rawat dia agar merasa lebih baik.
“Sa-Satsuki
tidak ada. Ta-tapi tenanglah aku akan menjagamu sampai Satsuki atau paman dan
bibi datang.” Jawabku sedikit gugup.
“Siapa?” tanya
Anzi.
Glek! Aku menelan
ludah lagi. Aku tak bisa menyebutkan namaku.
“A-Aku tetangga
sekitar sini.” Kalimat itulah yang keluar dari mulutku. Setelah mengatakan itu,
Anzi tak lagi bertanya. Ia terus memejamkan mata, sepertinya ia sangat merasa
sakit.
“A-apa yang Anda
rasakan? Pusing?” tanyaku.
Anzi mengangguk
lemah.
“Apa Anda sudah
makan?” tanyaku lagi.
Anzi menggeleng
pelan.
Ya Tuhan, dia
belum makan. Tidak mungkin minum obat jika belum makan.
“Tu-tunggu aku
sebentar aku akan buatkan makanan.”
Aku segera
menuju dapur. Aku membereskan pecahan gelas tadi dan membuat bubur. Pasti tadi
Anzi mau minum, tapi karena tubuhnya terlalu lemas ia jadi terjatuh. Aku malah
menyangka ada maling. Anzi kuduga maling (sialan kau Nina).
Sebelum bubur
matang aku berlari ke toko terdekat membeli obat. Aku sudah menyetel alatnya,
jadi tidak perlu menunggu seperti ketika memasak dengan kompor. Aku tidak tahu
persis Anzi sakit apa, tapi setidaknya kurasa aku harus membeli obat penurun
panas dan pusing. Aku sangat terburu-buru di dalam toko, saat dikasir aku
meminta orang di depanku agar memberikan antreannya terlebih dahulu kepadaku.
Darurat, kataku.
Untunglah ia mau.
Sesampainya di
rumah aku segera memberikan bubur kepada Anzi. Ah tapi, tak mungkin ia makan
sendiri ya. A-aku harus suapi?
Aku meminta Anzi
memosisikan dirinya senyaman mungkin. Ini supaya makanannya bisa tertelan
dengan baik, tidak membuatnya tersedak. I-ini pertama kalinya aku menyuapi
A-Anzi. Aku sangat gugup. Satsuki dimana kau?
Beberapa saat
kemudian.
“Kakak aku
pu....” Satsuki tercekat dan terdiam di depan pintu.
“Heee??? Ninaa,
Anzi kenapa?” buru-buru ia menghampiri
kami berdua.
“A-ah Satsuki,
ta-tadi ketika aku sampai di depan aku mendengar suara gelas pecah kupikir ada
pencuri ternyata A-An, di-dia pingsan,” aku setengah gugup menjelaskannya.
“Ya Tuhan. Tadi
sebelum pergi aku sudah menanyakannya apa ada yang ingin kuambilkan. Anzi
bilang tidak jadi kupergi saja. Ternyata malah begini, dasar.”
Jadi Anzi memang
sedang sakit? kenapa Satsuki tak memberitahuku?
“Nina, kau bawa ini
ke dapur ya. Biar aku yang suapi Anzi.”
Aku mengangguk.
“Ah, aku juga
sudah membeli obat. Semoga tepat,” ujarku. Satsuki mengangguk.
Setelah aku
meletakkan barang belanjaan Satsuki, aku menuju sofa dan membantu Satsuki
memberikan Anzi obat. Anzi kembali tertidur setelah efek mengantuk obatnya
bekerja. Setelah menyerahkan kue aku pamit pulang.
“Tenang saja
nanti aku beritahu itu kue darimu,” goda Satsuki.
Aku mencubit
lengannya. Anzi sedang sakit masih saja Satsuki memikirkan itu.
* * *
Satsuki kenapa kau tak bilang kalau Anzi sakit?
Aku mengirimkan
pesan singkat kepada Satsuki.
Akhirnya aku
menanyakannya juga. Kalau tau dia sakit aku akan datang lebih awal.
Piip balasan
dari Satsuki sampai.
Aku kan sudah menyuruhmu lekas kemari. Kau saja
lama.
Aku tahu aku
salah. Satsuki pasti kesal.
Maaf ya
Satsuki. Aku menyesal.
Aku meletakkan
ponsel di meja kemudian turun ke bawah untuk memastikan pintu dan jendela sudah
terkunci. Satsuki mungkin tak membalas pesanku. Aku paham jika ia marah. Tak
apa.
Namun tak lama
begitu aku kembali ke kamar balasan Satsuki datang.
Minta maaf lah pada Anzi. Dia sudah menunggumu sejak
hari pertama datang.
E?
Ee?
Eee?
Eeeeeeeeeeeee?????????
Ngomong-ngomong sudah bisa menulis nama Anzi nih.
Aku membaca
lanjutan pesan Satsuki.
Aku mengeryitkan
dahi. Loh bukannya memang sudah pernah menulis? (aku sendiri tak yakin).
Ah Satsuki.
Maksudmu apa Satsuki?
Aku benar-benar
tak paham maksud Satsuki. Anzi menunggu? Menunggu apa?
Ah, paling kue
kan. Dia kan suka kue buatan Ibu. Aku sangat ingin tahu jawaban Satsuki, tapi
sampai pesan itu terkirim, hingga aku terlelap tidur, Satsuki tak membalasanya.
* * *
Aku
mengucek-ucek mataku.
Ah sudah pagi,
aku lagi-lagi tertidur ya semalam. Jendela kamar terbuka, aku pasti lupa
menutupnya (padahal rasanya sudah kututup). Bodoh, padahal pintu dan jendela di
bawah sudah kupastikan terkunci, malah jendelaku terbuka begitu.
“Selamat Pagi
Nina.”
Aku menguap,
mengusap-usap rambutku dan beringsut duduk.
“Pagi. Siapa?”
balasku sambil menutup mulut sembari menguap.
Ibu ya? Apa
sepagi ini sudah pulang? kok tidak mengabariku dulu?
“Tidur nyenyak
semalam?”
Aku mengangguk
malas.
Ah iya mungkin
Ibu. He? Ibu?
Suara Ibu kenapa
jadi laki-laki? Aku mulai merasa gusar. Siapa? Ada laki-laki di kamarku
pagi-pagi? Ayah? Ayah sudah meninggal. Hantu ayah? Apa mungkin hantu ayah? Tapi
kenapa hantu datang pagi-pagi? Harusnya hantu datang malam hari.
“Anak gadis
tidak baik bangun terlalu siang. Coba lihat ke jendela, langit sudah terang”.
Aku melihat ke
arah jendela.
Jadi orang ini
yang membuka jendela kamarku? Semalam sudah ditutup kan. Tapi siapa???? Siapa
laki-laki yang masuk ke dalam kamarku????
Dengan perasaan
yang tak menentu aku mencoba melihat ke sisi kiriku. Kalau benar hantu Ayah,
aku harus apa? lari? Tapi itu Ayah. Aaah aku takut hantu. Jika benar Ayah
kuharap Ayah tidak datang dengan wajah menakutkan.
Aku malah menutup wajahku dengan bantal.
“Si-siapa?” aku
bertanya takut-takut.
“Siapa? Kenapa
tidak lihat sendiri aku siapa?”
“Ja-jangan
menakut-nakuti aku? ha-hantu Ayah?”
Laki-laki itu
malah tertawa.
“Teganya
menyebut Ayahmu hantu.”
Eh? Bukan? Lalu
siapa? Ya Tuhaaan aku takuuuuuut. Aku memejamkan mata.
Laki-laki itu
mengambil bantal yang kugunakan menutup wajahku.
“Kamu kan yang
kemarin datang, wangimu sama seperti gadis yang kemarin datang.”
Aku membuka
mataku.
Eeeeeee??????????????????????!!!!!
Mataku
terbelalak, jantungku berdegup sangat kencang melebihi bunyi senapan angin yang
dilepaskan bertubi-tubi. Ia bukan Ayah, bukan. Bahkan bukan hantu sama sekali.
Dia tersenyum manis dengan wajah laki-lakinya yang tegas. Ia duduk di ujung
tempat tidurku. Memegang bantal yang tadi kugunakan untuk menutupi wajahku
karena takut.
“Selamat pagi
Nina. Aku bukan hantu kan??”
K-K-K-Kyaaaaaaaaaaaa
! ! ! ! ! ! ! !! ! ! !
Aku menutup
seluruh tubuhku dengan selimut. Tidak mungkin ! tidaaaak ! !
A-Anzi???!!!!!!!
A-apa yang dia lakukan pagi-pagi begini di kamarku? Di kamarkuuuu!
Anzi menyibak
selimutku. Memegang kedua tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajah. Ia
mendekatiku dan memaksaku untuk duduk. Aku yang tak mungkin berontak pun (kalau
berontak serasa Anzi ingin berbuat jahat padaku) akhinrya duduk juga.
“Tadi bantal,
sekarang tangan. Kenapa suka sekali menutupi wajah? Malu?”
Aku menunduk.
Jelas aku malu !
kau ada disini kan? Bahkan mungkin sejak aku masih tidur. Kau melihat wajah
tidurku, tentu saja aku malu.
“Aku tak tega
membangunkanmu. Jadi kutunggu saja sampai kau bangun.”
Sungguh, aku
sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang harus kukatakan? Aku
benar-benar salah tingkah dan Anzi menyadari benar hal itu.
“Aku ingin
mengucapkan terima kasih. Kau kan yang menolongku kemarin?”
Aku hanya
mengangguk pelan. Aku masih menunduk.
Anzi menghela
napas.
“Tidak baik jika
diajak bicara tidak memandang lawan bicaranya.” Anzi memegang dagu dan
mengangkat wajahku.
Wajahku bagai
udang rebus.
“A-aku kaget
a-ada A-A-A....” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
“A? Ayam?”
godanya.
“Bu-bukan!”
tukasku cepat.
“Lalu?”
“I-itu,
A-A-Anzi!” Aku mengatakannya sambil memejamkan mata.
Anzi tertawa.
“Akhirnya.”
Ujarnya lega.
He? Kenapa dia
tampak lega.
“Satsuki bilang sejak
saat itu kau tak pernah mengucap namaku. Hanya melalui tulisan di pesan
singkat, jadi mendengar langsung lega rasanya.”
Benarkah? Anzi
lega?
“A-Anzi sudah
ti-tidak marah p-padaku?” Aku memberanikan diri bertanya.
Ia tersenyum.
“Maaf ya atas
perlakuanku waktu itu. Aku seharusnya tak melukai perasaanmu.”
Aku menggeleng.
“Tidak apa. Aku
yang seharusnya minta maaf, tidak pantas memiliki perasaan seperti itu.”
Suasana terasa
berubah. Aku mulai bisa berbicara lebih baik, tidak terlalu gugup. Kami hanya
berdua di dalam kamarku, serasa aku ingin berbicara dari hati ke hati. Betapa
aku menyesal telah lancang mencintainya.
Anzi mengelus
kepalaku.
“Jangan bicara
begitu. Itu hakmu. Setiap orang memilik hak bahkan untuk mencintai seseorang.”
“Tapi bagaimana dengan perasaan orang itu. Dia pasti terganggu kan.”
“Tapi bagaimana dengan perasaan orang itu. Dia pasti terganggu kan.”
“Awalnya iya.
Tapi ia menyadari ketika itu ia masih sedang dalam suasana hati yang buruk.
Tidak bisa berpikir jernih.”
Aku menatapnya.
“A-Anzi mau
memaafkanku?”
“Sudah kubilang
aku yang minta maaf.” Senyumnya teduh sekali.
Tidak terasa air
mataku jatuh.
“Terima kasih.
Terima kasih,” ujarku sembari mengusap air mata.
“Ah maaf ya
kalau aku mengagetkanmu. Aku minta kunci rumah ini pada Satsuki untuk masuk.
Hehe..”
Aku menggeleng.
Tak apa.
“Ka-kau sudah
sehat?” tanyaku
“Sudah. Berkat
seseorang yang kemarin merawatku.” Ia menatapku dalam.
Aku lagi-lagi
bersemu merah.
“Terima kasih.”
Lanjut Anzi.
Aku tersenyum.
Aku tidak perlu
ucapan terima kasihmu. Asal kau sehat aku sudah senang.
“Oh, kuenya
enak. Aku sudah memakannya.”
“Terima Kasih
tapi aku hanya membantu sedikit, kue itu lebih banyak Ibu yang buat” kataku.
Anzi menatapku
lama.
“Nina’’
panggilnya.
“Hum?”
“Aku lapar. Aku
mau makan masakanmu. Sudah lama tidak makan masakanmu.”
Aku sedikit
terkesiap.
“Mau?” ujarnya
memastian.
He-eh. Aku
mengangguk senang.
“Aku bantu ya.
Aku mau masak dengan Nina.”
Kami pun
berjalan bersama menuju dapur. Aku mengeluarkan semua yang ada di kulkas. Aku
akan masak makanan yang spesial untuknya.
Aku ingin Anzi
selalu baik-baik saja. Aku berjanji tidak akan membuat Anzi kesal lagi.
Hubungan kita yang baru ini, dimana Anzi sudah memaafkanku akan aku jaga baik-baik. Aku tak akan berbuat hal
bodoh lagi. Tak perlu ucapan cinta seperti di mimpi, tak perlu mengetahui apa
perasaan Anzi padaku saat ini. Melihatnya tersenyum dan menyapaku lagi saja
sudah sangat membuatku bahagia sekali.
Terima kasih
Anzi.
*ini hanyalah fiksi belaka jika ada perbedaan karakter harap maklum, namanya juga buat fun aja xDD