Selasa, 22 Juli 2014

Fanfic Anzi. xDDD (gak ada judul)



Anzi pulang.  Begitu isi email dari Satsuki.
Aku melihat dari kaca kamarku. Rumah di seberang sana, anak laki-laki di keluarganya sedang pulang. Seorang musisi hebat sekarang, sudah terkenal.
Aku memeluk lutuku di atas kasur.
Aku senang. Iya, sangat senang. Sudah cukup lama ia tak pulang, mungkin kali ini sedang ada waktu senggang hingga ia memutuskan untuk pulang. Email dari Satsuki kuterima lima menit yang lalu, sekarang masih pukul enam pagi. Aku sangat ingin menemuinya, aku sangat rindu. Rindu padanya.
Aku memejamkan mata.
Aku tak mungkin menemuinya sekarang, meski Satsuki telah memberitahuku. Ia baru saja sampai, tak sopan jika aku langsung datang menemui. Tentu ia ingin menikmati waktunya bersama keluarga. Namun, yang lebih penting sebenarnya adalah, apa aku berani menemuinya?
Ah, kau pasti senang ya Satsuki. Aku juga turut senang. Aku akan menyempatkan diri kesana, mungkin bersama ibu. Aku membalas email Satsuki.
Alasan.
Aku menulis akan menyempatkan diri kesana bersama ibu. Padahal aku tak tahu apa aku berani datang. Aku tak punya wajah untuk bertemu dengannya.
Aku merebahkan diri di atas kasur. Menghela napas...
“Nina!” ibu mengetuk pintu kamar seraya memanggil namaku.
“Apa kau belum bangun? Ini sudah pagi, ayo bantu ibu.”
Aku beringsut malas.
“Aku sudah bangun sejak tadi, iya aku keluar.” Tukasku malas.
Aku membuka pintu kamarku, menuruni tangga dan menemui ibu di dapur.
Kulihat banyak tepung dan peralatan membuat kue lainnya di atas meja.
“Kue?” tanyaku
Aku mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya. Aku haus.
“Iya, Satsuki bilang dia sudah memberitahumu kalau Anzi pulang. Jadi ibu mau buatkan kue untuk sekalian kau antar kesana.”
Uhuk ! Aku tersedak.
“Me-memangnya siapa yang mau kesana?” tanyaku. Masih sakit karena tersedak.
“Hee kau ini apa-apaan, tadi Satsuki menelpon ibu. Anzi pulang, baru saja sampai tadi. Satsuki bilang kau mau datang bersama ibu.”
“A-aku tidak begitu serius mengatakan itu,” jawabku pelan.
“Ibu akan pergi beberapa hari ini, jadi ibu buatkan kue sebagai tanda permintaan maaf. Kau bawalah kue ini. Ibu akan menelpon mereka sebelum berangkat nanti.” Ibu seperti tak menghiraukan jawabanku.
Ah.. Ibu, kau mendesakku namanya, meski tanpa ibu sadari.
“Ibu mau kemana lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Keluar kota dua hari ini. Maaf ya ibu tidak memberitahumu sebelumnya, ini mendadak. Semalam baru diputuskan.’’
“Mengunjungi petani di daerah mana lagi?” tanyaku.
Ibu malah tersenyum senang.
“Tidak begitu jauh, mereka tengah mengembangkan jenis apel baru. Lebih manis dan lebih besar, hebat kan?” Ibu terlihat sumringah.
“Kenapa mendadak?” aku menggeser kursi di posisi yang nyaman dan mendudukinya. Melihat ibu mengeluarkan tepung, telur, dan gula.
“Kau tahu jadwal mengajar ibu padat, jadi semalam ibu baru menginformasikan jika dua hari ini ibu kosong.”
Aku diam. Memandang kosong ke depan sambil meminum kembali air di tanganku.
“Aduk ini Nina.”
Aku menurunkan pandangan, meski masih kosong. Aku meletakkan gelas dan meraih wadah yang berisi adonan, mengaduknya tanpa menatap.
“kalau sudah rata campurkan ke dalam adonan di mixer, masukkan sedikit demi sedikit.”
“Ini membuat apa?” tanyaku
“Hanya cake biasa.”
“Kenapa tidak membuat chocolate banana crepe saja?” Hup ! Aku menutup mulutku.
Ya Tuhan, di saat seperti ini pun aku memikirkan makanan kesukaannya.
Ibu memandangku dan tersenyum.
“Ini kan mendadak Nina, bahan yang ada hanya bisa untuk membuat cake. Tapi tenang saja, kita punya persediaan pisang kan,nanti ibu buat menjadi chocolate banana cake.” Ibu mengedipkan mata padaku.
Aku tersipu. Ah, malunya.
* * *
Sebetulnya sebelum ini Anzi juga pernah pulang, sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu ia juga sudah menjadi musisi, tapi bandnya belum setenar seperti sekarang. Sejak lima tahun yang lalu, kami belum pernah bertemu lagi. Terlebih saat itu aku membuatnya marah.
Kami teman sejak kecil. Aku seumur dengan Satsuki, tapi Anzi lima tahun lebih tua. Aku dan Satsuki teman baik. Keluarga kami sudah seperti saudara, akrab sekali. Aku sering bermain ke rumah Satsuki, sampai menginap segala. Terkadang Satsuki juga begitu. Kami sudah sangat mengenal luar-dalam. Karena begitu dekatnya, aku pikir aku jatuh cinta pada Anzi, kakak Satsuki sejak mulai remaja. Aku tahu Anzi sangat jahil. Ia sering membuat Satsuki menangis. Kalau sudah begitu aku yang akan menghibur Satsuki. Sebetulnya aku juga sering jadi korban kejahilannya. Ibu adalah salah satu orang yang ahli dalam bidang pertanian dan perkebunan. Ibu suka membawa strawberry dari kerabatnya. Kalau sedang main di rumahku Anzi pasti menghabiskan strawberry itu, terkadang meski sudah diberi oleh ibu, ia masih suka mengambil bagianku. Tapi anehnya aku tak merasa keberatan akan hal itu. pikirku jika Anzi dan Satsuki senang, aku juga senang. Saat itu kupikir begitu, namun lambat laun saat mulai remaja kupikir perasaan sukaku terhadap Anzi berbeda dengan rasa sukaku terhadap Satsuki. Aku merasa kesepian jika tak bersamanya, setiap saat rasanya ingin bertemu, jika sudah bertemu rasanya hatiku menjadi hangat saat melihat senyumnya. Hatiku berdegup. Degupan yang sama sekali tak kurasakan ketika bersama dengan Satsuki.

“Nina, kau suka Anzi?” tanya Satsuki suatu hari.
Aku terperanjat. Sekuat tenaga kukatakan bahwa itu tidak benar. Tetapi ucapan Satsuki justru membuatku lebih terkejut lagi.
“Aku senang kalau Nina benar-benar suka Anzi. Buatku Nina adalah yang paling baik dan cocok untuk Anzi.”
“Ke-kenapa begitu?” tanyaku tak percaya.
“Anzi itu genit, iseng, menyebalkan. Kalau Nina jadi pacar Anzi, aku pasti aman karena Nina akan melindungi aku dari keisengannya setiap hari,” tukas Sastsuki sambil cemberut.
Aku tertawa kecil.
“Sekarang pun aku selalu bersama Satsuki kan, jadi tidak usah khawatir,” kataku.
“Aaah iya betul. Tapi aku lebih senang kalau Nina jadi pacar kakakku,” satsuki memelukku.
Dalam hatiku ketika itu rasanya bahagia. Satsuki tidak keberatan kalau aku suka Anzi kan? Tapi Anzi????

Aku dan Satsuki tumbuh menjadi anak yang periang. Kami selalu bersama kemanapun kami pergi. Aku selalu bermain ke rumah Satsuki meski terkadang di sana juga ada Anzi dan teman-temannya, teman-teman kuliahnya. Sesekali aku mendengar pembicaraan mereka, termasuk ketika ada salah seorang yang bertanya tipe wanita kesukaan Anzi.
“Aku kan keren, jadi harus punya pacar yang cantik dan terlihat dewasa dong,” ujarnya sambil tertawa.
Sejak mendengar itu, aku sering mematut diri di depan kaca. Apa aku sudah terlihat cantik? Apa aku tinggi seperti layaknya wanita dewasa? Apa aku termasuk ke dalam tipe kesukaan Anzi? Sejak saat itu aku sering berdandan, memanjangkan rambut, dan berusaha terlihat dewasa. Padahal kan aku masih SMP.
Satsuki yang menangkap gelagat anehku mulai bertanya.
“Nina kenapa?” tanyanya lugu.
‘’Eh? Apa?” aku pura-pura tak tahu.
“Nina merubah penampilan belakangan ini, juga lebih pendiam dari biasanya.”
“A-apa iya?”
Satsuki mengangguk mantap.
“O-oh, a-aku pikir karena sudah mau SMA jadi harus terlihat lebih dewasa se-sedikit,” aku beralasan.
Satsuki menatapku seolah tak percaya.
“Oke, alasan saat ini diterima” ujar Satsuki sambil melipat tangan di dada.
           
            Begitulah, setiap hari aku berusaha tampil bagaikan seorang wanita kesukaan Anzi. Aku juga selalu membantu Anzi saat ia kesulitan. Tanpa kusadari perilakuku semakin membuat Satsuki terheran-heran.
“Setiap kakak bermain biola, Nina terlihat sangat menikmati ya,” ujar Satsuki.
“I-iya soalnya... aku suka bunyi biola.” Aku gugup
“Kenapa tidak minta ajari kakak saja, nanti aku  yang bilang.”
“E-eh jangan Satsuki, tidak usah,” tolakku
“Kenapa?”
“Percuma, ayahku benci musik. Nanti aku dimarahi,” aku menunduk.
“Paman itu aneh.”
Bagiku Anzi adalah pemain biola terbaik di dunia. Saat aku melihatnya memegang biola, auranya terpancar sangat dalam. Anzi seperti pangeran di kastil yang ada di komik-komik. Indah sekali. Bagiku yang sama sekali tak pernah bisa menyentuh alat musik ini, melihatnya bermain biola amat membuatku bahagia. Aku semakin terpesona oleh kakak Satsuki itu, tapi...
“Perkenalkan ini adikku Satsuki, dan temannya Nina.”
Anzi memperkenalkan kami pada seorang wanita cantik berambut panjang dengan tinggi semampai di suatu sore yang cerah.
“Nina sudah kuanggap seperti adikku sendiri, jadi selain dengan Satsuki kau juga harus akrab dengan Nina,” ujar Anzi.
Deg! Adik.
 Anzi menganggapku sebagai adiknya.
“Satsuki, Nina, perkenalkan ini pa-pacarku,” ujar Anzi malu-malu.
Seketika hatiku bagai tertusuk sembilu. Ucapannya yang mengatakan aku adiknya sudah seperti menohok perasaanku. Ditambah ketika ia mengatakan bahwa perempuan itu adalah pacarnya. Aku sekuat tenaga menahan perih di hatiku. Aku berpura-pura tersenyum dan berbicara ramah di depan wanita itu. Dia sosok wanita yang benar-benar mirip dengan tipe kesukaan Anzi yang pernah dikatakannya dulu. Cantik, dewasa, berambut panjang, dengan tinggi yang sepadan dengannya. Aku melihat ke dalam diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh. Betapa aku berusaha terlihat dewasa dengan memanjangkan rambut dan sedikit berdandan, Anzi takkan pernah menyukaiku. Nyatanya sejak dulu ia hanya menganggapku seperti adiknya. Bodohnya aku, selama ini untuk apa aku bersusah payah bersifat dewasa dan pendiam? Aku tetap hanyalah siswi sekolahan. Bocah ingusan.
            Hari itu aku pulang dengan menahan tangis. Setelah pamit aku berlari lewat pintu samping. Di depan masih ada wanita itu bersama Anzi. Aku tak mungkin sanggup melihatnya.
“Ninaaa!” Satsuki memanggilku. Ia meraih tanganku.
“Nina menangis?” Satsuki melihat air mataku.
Kali ini aku tak tahu apalagi yang harus kukatakan pada Satsuki. Aku tak tahu harus menjelaskan apa tentang air mataku.
“Nina suka Anzi kaaan? Iya kaan Nina???” Satsuki menodongku, mukanya tampak khawatir.
Aku tak menjawab tangisku semakin keras.
“Kenapa Nina tak jujur sejak dulu, aku tahu Nina suka Anzi sejak lama. Aku tahu Nina,” Satsuki menghapus air mataku.
“Nina tak mengatakannya pun aku tahu. Karena sangat  terlihat Nina suka Anzi.”
Aku masih sesunggukan.
“Ma-maaf Satsuki,”hanya itu yang bisa kukatakan.
Hari itu, Satsuki mengantarku sampai ke kamar. Di kamar aku mencurahkan semua yang selama ini aku rasakan. Satsuki memelukku, ia tahu aku menyukai Anzi. Tapi ia tak tahu jika cintaku sebesar itu. Kini tak ada gunanya lagi aku berjuang, Anzi sudah memiliki kekasih yang cantik dan dewasa. Anzi tak kan pernah melirikku, sedikitpun. Selamanya aku hanyalah adiknya.
“Aku akan beritahu kakak, supaya ia memutuskan wanita itu  Nina,” Satsuki berucap padaku keesokan harinya.
Aku terkejut.
“Jangan Satsuki, jangan!” tolakku keras.
“Kenapa? Aku mau Nina yang jadi pacar Anzi, bukan wanita itu!”
“Bukan begini Satsuki. Bukan begini caranya andai aku jadi pacarnya sekali pun.”
“Aku sudah memikirkan ini semalam Nina.”
Aku menggeleng dan memegang pundak Satsuki.
“Satsuki, aku melihat Anzi mencintai wanita itu. Anzi terlihat bahagia. Asal dia bahagia aku juga. Tak apa tak menjadi pacarnya. Toh kita sudah bersama-sama sejak kecil,” ujarku perlahan.
“Tapi kau menangis Ninaaaa, kau menangis!!!!’’
Aku menunduk.
“Kumohon jangan beritahu Anzi. Satsuki, kumohon,” aku berkata lirih.
“kenapa?” Satsuki memelankan suaranya.
Kenapa? Satsuki, aku takut jika dia sampai tahu kalau aku menyukainya. Aku yang anak kecil ini. Dia pasti marah. Aku takut.
Kata-kata itu, hanya bisa kuucap di dalam hatiku. Tak sedikitpun kata yang bisa kukatakan pada Satsuki. Tak satupun.
“Jangan, kumohon Satsuki,” ujarku lagi, pelan.
“Nina....
Dan Satsuki hanya bisa melihatku kembali mengeluarkan air mata hari itu. Ia memelukku, erat.
* * *
“Sudah jadi,” Ibu tersenyum senang.
“Nah Nina, ibu akan menelepon Satsuki dan mengatakan bahwa kau akan kesana. Sekalian Ibu akan pamit.” Lanjut Ibu seraya pergi ke ruang tengah.
Aku hanya terdiam.
Yah, aku bisa apa kalau sudah begini. Salahku juga karena mengatakan akan kesana bersama ibu. Harusnya bilang saja, Oh Satsuki kau pasti senang ya, kalau kau senang aku juga. Sudah, begitu saja seharusnya kan. Kenapa aku bodoh sekali.
Sayup sayup terdengar pembicaraan Ibu.
Ah iya, maaf aku berhalangan. Ada keperluan, tapi nanti Nina yang akan kesana. Pasti. Sejurus kemudian Ibu tertawa senang.
Bicara dengan Satsuki? Kenapa bahagia sekali nada bicaranya.
Iya nanti Bibi bawakan oleh-oleh ya. Haha... Maaf ya, terima kasih sudah memaklumi.
Klik! Telepon ditutup.
Aku menuang air lagi. Haus untuk yang kedua kali. Tentu saja, sedari tadi aku kan membantu Ibu.
“Nina, ibu sudah pesan. Anzi senang sekali ibu buatkan kue.”
Anzi?
“Tadi yang angkat teleponnya Anzi, jadi langsung saja Ibu bicara dengannya.”
Uhuk! Uhuk! Aku tersedak lagi. Kali ini lebih sakit rasanya tenggorokanku.
“Heeh, kenapa kaget begitu sih,” Ibu menggodaku.
Aku meletakkan gelas dan berusaha menenangkan diri agar aku tak tersedak lagi.
“Ibu jangan menggodaku,” tukasku kesal.
“Hmmm? Memangnya Ibu menggoda ya? Haha...”
Ah Ibu menyebalkan.
“Yasudah, Ibu mau bersiap berangkat. Kau kemasi kue itu dan segera antar.”
Aku menatap Ibu yang masuk ke dalam kamar dan kue di atas meja bergantian.
Ya Tuhaaan, hufftt.....
Aku menghela napas.
            Lima belas menit kemudian Ibu sudah bersiap mengeluarkan mobil dari garasi. Ibu terbiasa menyetir sendiri, bahkan ke luar kota sekalipun.
“Belum kau kemasi juga kuenya?”
Aku hanya diam.
“Ckck.. Ninaa, ibu tidak mau tahu ibu pergi kau sudah harus mengantarkannya. Jangan lupa” ancam Ibu. Sejurus kemudian, mobil yang dikendarai Ibu sudah hilang dari pandangan.
Aaaaah, Ibu pasti sengaja menggodaku,mengerjaiku. Sengajaaaaa!! Aku mengacak-acak rambutku.
Aku masuk ke dalam dan menjatuhkan diri ke atas sofa.
Hufft hufft... aku meniup-niup poniku sendiri.
Tiga tahun lalu, terkahir kali kepulangan Anzi sebelum hari ini Ibu mengetahui bahwa aku mencintai Anzi. Bukannya menghiburku, Ibu justru malah rajin menggodaku.

Tiga tahun lalu Anzi putus dengan pacarnya. Anzi sangat kecewa, tapi tidak dengan Satsuki.
“Ninaaaaa, Anzi putuss. Aku senaaaang,” ujarnya hari itu.
“Satsuki kenapa kau malah senang? Dia pasti sangat sedih kan?”
“Biar saja, aku sudah beritahu dia kalau wanita itu tidak cocok untuknya tapi dia malah membelanya terus. Sekarang rasakan, huh!”
Aku tediam sejenak.
“Kenapa mereka bisa putus?” tanyaku
“Kau tahu, kakakku yang keren itu sudah dicampakkan!”
Apa?!!! Anzi dicampakkan?
“Ke-kenapa bisa?”
“Yaaah, sepertinya wanita itu tidak bisa menunggu sampai Anzi bisa sukses. Kau tahu sejak Anzi mengenal gitar ia tak lagi menyentuh bioalnya. Anzi sangat ingin memiliki band metal. Perjalanan kan tidak mudah, eh wanita itu meninggalkannya begitu saja.”
Benarkah? Kasihan Anzi, dia pasti sangat sedih dan terpukul.
“Kau senang kan Ninaaaa???? Ayo Nina saatnya kau maju!” Satsuki menyenggol-nyenggol lenganku.
“E-eh? Ng....
“Kenapa? Kau harusnya senang kan Nina??”
Iya, tidak bisa kupingkiri kalau aku senang begitu tahu mereka putus. Tapi, jika Anzi sedih seperti ini, aku...
“Anzi pasti sedih kan? Aku rasa aku tak boleh bahagia di atas penderitaan orang lain.”
Satsuki menepuk keningnya.
“Kau ini naif atau apa Nina? Ini kesempatanmu.”
“Satsuki terima kasih, aku tahu tapi.. aku rasa aku tak akan melakukan apapun hingga luka di hati Anzi sembuh.”
Satsuki terdiam.
“Ninaaa, kau memang baik tapi kalau kau tak cepat nanti kakakku bisa diambil wanita lain. Kau tahu aku hanya mau kau yang jadi pacar kakak!!” Satsuki bersungut-sungut.
Bingung. Sejujurnya aku bingung, mungkin benar aku naif. Aku senang kan? Tapi aku seperti ingin membuat segala sesuatunya memiliki waktu. Tidak secepat itu.
“Bagaimana?”
Aku menatap Satsuki.
“Biarkan aku memikirkannya ya Sacchan?” aku memohon.
Satsuki mengacak-acak rambutnya.
“Oke, baiklah tapi jangan terlalu lama. Ingat nanti Anzi diambil orang lain.”
Ucapan Satsuki hari itu seperti ancaman, tapi aku seolah tak menghiraukan ancaman itu. Sebulan setelahnya aku masih tak melakukan apapun, meski sebenarnya aku takut, aku takut ucapan Satsuki ada benarnya. Laki-laki sekeren Anzi pasti banyak yang suka, terlebih meski belum terlalu terkenal dia sudah menjadi artis. Namun, jika aku melihatnya aku sungguh tak bisa berbuat apapun. Anzi seperti masih belum bisa menghilangkan rasa sakit hatinya, ia masih kecewa dan marah. Mana mungkin aku mengatakan kalau aku suka dia dengan keadaan seperti itu.
Sampai akhirnya, hari itu tiba. Ibu baru saja kembali dari luar kota membawakan oleh-oleh. Aku diperintahkan untuk membawakannya untuk keluarga Satsuki. Aku melewati pintu depan, dan tanpa sengaja aku mendengar suara Satsuki dan Anzi yang tengah beradu mulut.
“Aku kesal kenapa kau masih saja begini. Kamu kan laki-laki Anzi, berhentilah seperti ini dan keluarlah cari hiburan dan kesenangan yang lain!”
“Jangan ikut campur! Apa yang kau tahu tentang perasaanku!”
“Apa yang kutahu katamu? Dengar ya, aku muak melihatmu menjadi temperamen begini. Hanya gara-gara wanita itu? sebesar itu kah cintamu sampai-sampai sebulan ini kau frustasi?”
Anzi hanya terdiam.
“Tunjukkan kalau kau laki-laki kuat! Cih, pasti wanita itu senang melihat betapa kau tak bisa melupakannya. Padahal dia sudah bahagia dengan laki-laki lain. Kau tak merasa betapa bodohnya kau haaa???!”
Ya Tuhaaan, aku rasa sebaiknya aku pulang. Nanti saja aku memberikannya, kalau keadaan sudah damai. Satsuki seram kalau sudah marah.
Aku baru saja beringsut untuk pulang, tetapi...
“Kau bodoh masih memikirkan wanita yang sudah mencampakkanmu sementara ada gadis baik hati yang sejak dulu selalu mencintaimu!” Satsuki setengah berteriak.
Deg!
Apa ini? Apa yang ingin Satsuki katakan?
“Apa maksudmu?” tanya Anzi.
“Kau tak menyadarinya juga??? Nina mencintaimu sejak dulu Anzi, sejak duluuuu!!!!”
Sa-Satsuki ! ! ! Aku bagai tersambar petir di siang hari.
Apa yang kau katakan Satsuki???!!!! Apa????!!!!!
Aku menutup mulutku.
Ya Tuhan, tak mungkin. Kenapa Satsuki mengatakannya pada Anzi??
“Haaa??? Anak kecil itu kau bilang?” kata Anzi.
A-anak kecil. Aku anak kecil.......
Mataku mulai panas.
“Kejam kamu, kau bilang Nina anak kecil??” Satsuki geram.
“Dia memang anak kecil, dia seumur denganmu.”
“Kau ini apa-apaan. Dia kecil, dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Dia sudah 20 tahun sekarang. Dia sudah dewasa Anzi!!!”
“Lalu kenapa? Dia sudah kuanggap seperti kau, adikku! Kau pikir aku bisa mencintai gadis kecil seperti dia?”
“Anzi dia bukan gadis kecil!”
“Lalu apa, anak kecil?”
“Anzi!!” Satsuki membentak.
Air mata telah menganak sungai di mataku.
Ya Tuhan, sudah kuduga Anzi tak pernah memiliki perasaan kepadaku selain sebagai adiknya. Itu semua memang sudah jelas sejak dulu. Apa yang kulakukan? Apa yang kuharapkan hingga aku masih mau berdiri disini? Ayo pulang Nina, pulaaang.
Begitu aku hendak berlari pulang, keranjang buah di tanganku terjatuh. Suaranya terdengar hingga ke dalam. Seseorang membuka pintu. Satsuki.
“Nina....,” Satsuki tampak terkejut.
Aku memalingkan wajah, menyembunyikan tangis.
“Nina apa kau mendengar semuanya?”
Aku tak menjawab, aku menutup mulutku sekencang mungkin agar suara tangisku tidak terdengar. Tak lama Anzi muncul di bibir pintu.
“Hooh ada yang bersangkutan, bagus. Jadi bisa langsung selesai.”
“Anzi diam! Nina tak ada hubungannya dengan ini, ini semua salahku.” Satsuki membelaku.
“Bodoh, apanya yang tak ada hubungannya.”
“Nina tak bersalah, aku lah yang membocorkan rahasia. Nina tak mau kalau kau tahu.”
“Kau pikir itu menyelesaikan masalah? Anak kecil ini diam-diam mencintaiku? Sejak kapan? Sejak kecil?” Anzi bertanya sinis.
“Anzi!” Satsuki membentak.
Aku semakin terisak.
“Nina selama ini mencemaskanmu. Bahkan saat kau putus ia amat mencemaskan dirimu yang bersedih.”
“Aku tak pernah memintanya mencemaskanku.”
“Anzi kamu keterlaluan.”
“Oiya lalu kenapa dia memintamu merahasiakan Satsuki? Karena takut aku marah? Tenang saja, aku mungkin tidak marah..” ucapannya menggantung.
“Tapi jujur saja aku jadi malas melihat wajahnya lagi,” lanjutnya, dan ia pun masuk ke dalam.
Satsuki dan aku terdiam.
“Nina maaf aku...”
“Tidak apa Satsuki,” aku memotongnya sambil terisak.
“Aku tahu inilah yang akan terjadi seandainya ia tahu perasaanku.” Lanjutku. Aku menunduk.
“Nina aku benar-benar minta maaf, Nina aku....”
“Aku pulang dulu Satsuki,” lagi-lagi aku memotongnya.
Dengan setengah berlari aku meninggalkan Satsuki. Sekeras mungkin aku menyembunyikan tangisku agar Ibu tak melihatnya. Aku cepat-cepat menaiki tangga, memasuki kamar, dan mengunci pintunya. Aku juga menutup kain gorden, membiarkan kamar ini mengurungku. Di luar Ibu bertanya padaku dari balik pintu.
“Nina ada apa? Sudah kau berikan buahnya?”
Aku tak menjawab pertanyaan Ibu. Aku menutup wajahku dengan selimut. Aku terus terisak. Hatiku sangat perih. Aku tak ingin Anzi membenciku, bahkan jika aku hanya bisa mencintainya diam-diam selamanya itu tak mengapa, asal ia tak membenciku. Aku tak ingin Anzi membenciku. Tapi apalah arti harapan itu, sekarang semua sudah terjadi. Anzi marah, ia benar-benar membenciku.
Sejak saat itu, aku sama sekali tak bertemu dengan Anzi. Selain aku tak berani menampakkan diri, Anzi juga sudah kembali sibuk dengan bandnya. Iya, ia adalah artis yang mulai dikenal banyak orang. Lantas apa pantas gadis kecil sepertiku mencintainya. Hubunganku dengan Satsuki baik-baik saja. Setelah hari itu, keesokan harinya Satsuki datang ke rumahku dan meminta maaf sambil menangis. Aku memeluknya, ini sama sekali bukan salahnya. Aku tahu Satsuki ingin membantuku, tapi perasaan Anzi memang tak bisa dibohongi. Biarlah jika ia melihatku hanya sebagai anak kecil. Satsuki bersumpah untuk mengembalikan hubunganku dengan Anzi seperti sedia kala. Aku hanya tersenyum. Satsuki sering sekali mengirimkan email kepada Anzi dan menjelaskan semuanya secara detil. Aku pikir sudahlah, aku tak perlu dibela sampai seperti itu, tapi aku juga tidak mau mematahkan semangat Satsuki. Aku membiarkannya melakukan itu, hingga hari ini hari dimana akhirnya Anzi kembali pulang.

* * *
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Aku belum membawakan kuenya juga, padahal sudah kukemas rapi. Kalau ibu tahu ia pasti menjewerku. Oiya, Ibu mengetahui masalah ini. Hari itu saat Satsuki datang meminta maaf sambil menangis ibuku mencuri dengar. Aku ngambek saat mengetahuinya, tapi ibu malah tertawa. Ibu sama sekali tidak cemas. Begitu kutanya mengapa tertawa, ibu hanya menjawab singkat.
 Masa muda memang begitu, nikmati saja ya Nina.
Begitulah, kesannya malah menggodaku. Ah, bahkan sampai hari ini pun Ibu kerap menggodaku terus.
Aku berjalan menuju kulkas sambil membawa kue.
Hai kue bersabarlah, aku berpikir dulu bagaimana sebaiknya saat memberikanmu nanti.
Kumasukkan kue itu ke dalam kulkas. Cepat-cepat kunaik ke kamar. Aku duduk di atas kasur.
Nina, kapan kau kemari? Tadi Ibumu sudah telepon.
Aku membaca ulang pesan Satsuki beberapa jam yang lalu.
Kamu sudah kangen kan? Ingin bertemu kaaan?
Satsuki malah seperti menggodaku saja rasanya.
Aku lagi-lagi mengintip melalui kaca kamarku.
Sepi. Rumahnya terlihat sepi. Anzi tidak keluar sama sekali sepertinya. Aaaah, kenapa tidak keluar???? Keluarlah barang sebentar saja, setidaknya aku ingin lihat seperti apa dia sekarang. Mungkin saja kan aku jadi lebih siap atau semacamnya.
Aku menunduk.
Yaah kurasa tidak, tidak mungkin aku siap.
Aaaaaaaaaa!!!! Aku menggigit bantal.
Aku rindu. Aku ingin bertemu dengannya, tapi aku takut. Aku memejamkan mata, kemudian menatap langit-langit.
Anzi, bertahun-tahun berlalu pun aku masih saja terus memikirkannya. Terlebih hari ini. Aku sangat gugup, bersemangat, tetapi juga takut. Aku ingin bertemu sungguh. Apa ini? Apakah ini bukti bahwa aku terlalu mencintainya?
Aku memeluk guling. Ingin rasanya membalas pesan Satsuki, tapi apa yang harus kutuliskan.
Satsuki...
Aku menghapusnya. Jangan, lebih baik tak usah.
Iya aku sebentar lagi...
Tidak tidak tidak. Sebentar lagi kapan? Memangnya siap? Aku kembali menghapusnya.
Anzi sedang apa? Aku...
Apa-apaan ini?!!!! Aku bilang tidak usah membalas Satsukiiiii
Aku menaruh ponselku ke bawah bantal.
Diam! Diam! Diaaaam!  Biarkan ponsel itu tidur di bawah situ. Aku menutup wajahku dengan guling.
Kenapa begini? Perasaanku kalut sekali, aku sungguh tak mengerti apa yang harus kulakukan. Kue itu harus cepat kubawa, bagaimanapun juga ada pesan permintaan maaf Ibu di sana. Tapi, aku tidak berani. Bagaimana jika Anzi langsung yang membukakan pintu? Atau Satsuki, kemudian karena kue itu untuk Anzi lalu ia memanggil Anzi. Saat bertemu Anzi apa yang harus aku katakan? Dimana harus kuletakkan wajahku??
Satsuki tolong aku...
Send!
Akhirnya malah aku sendiri yang mengambil ponsel dari bawah bantal dan mengirimkan pesan balasan kepada Satsuki.
Aaahhh...., aku membenamkan wajahku di atas bantal.
Aku merasa sangat bodoh.


* * *

“Aku juga, setelah tiga tahun berpikir aku menyadari bahwa aku menyukai Nina.” Anzi menatapku lembut. Senyum manisnya terkembang. Di taman ini, di bawah pohon yang rindang dengan bunga-bunga indah, kami hanya berdua. Aku menatapnya tak percaya.
“Be-benarkah? Bagaimana bisa?” tanyaku
Aku semakin yakin saat kumakan kue itu.”
Haaa?
Kue?
Kue apa?
Chocolate Banana Cake yang kau buat bersama Ibumu. Dimana kue itu sekarang?”
Kue? Dimana? Bukankah dia sudah memakannya? Kuenya??
Kueee???? Serta merta banyak kue melayang-layang di kepalaku.
Ninaaaa,
Ninaaaa,
Ninaaaaaa
Kuenya memanggil-manggil namaku. Menyeramkan!
Ninaaaaa!!
Apaaaa???
 Tidaaaaakkk!!
“Kueeee???!!!!!!’’ Aku berteriak ! aku memegang kepalaku.
He??? Apa ini?
Ini di kamarku??? Tamannya? Anzi??? Kemana???
Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 06.00. Nafasku tersengal-sengal.
Hah?!! Aku bermimpi?? Barusan itu mimpi???
Aku melihat ke arah jendela.
Ini sudah pagi, jam enam pagi. Ya Tuhan jadi kemarin sore aku ketiduran?
Kue? Tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku. Cepat-cepat aku menuruni tangga dan membuka kulkas.
Aku bernapas lega. Kuenya ada di sana, masih utuh.
Aku terduduk di lantai.
Bahkan kue ini menerorku dalam mimpi. Anzi menyatakan cinta padaku? Mana mungkin.
Kriiiiiing! Kriiiiiinngggg!
Aku terkejut tiba-tiba. Bunyi telepon.
Aku segera berdiri dan meraih gagang telepon.
“Ha-halo keluarga Nanami disini.”
“Ninaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!”
Sa-Sat-Satsuki. Ia berteriak kencang sekali.
“Sa-Satsuki, a-ada apa?” tanyaku gugup.
“Ada apa katamu???? Mau sampai kapan kau?!!! Kamu belum kesini juga???!!!!”
“Sa-Satsuki pelankan suaramu.”
“Tidak bisaaaa!!!!! Kau pikir berapa lama aku menunggumu haa??? Telepon!! Aku berkali-kali menghubungi ponselmu tapi sama sekali kau tak angkat Ninaaaa!!!!!!!”
Are? Satsuki menghubungi ponselku?
 “Ma-maaf Satsuki aku...., baru bangun.”
“Apa kau bilaaaaang? Jadi sejak kemarin aku menelponmu kau enak-enakan tidur???”
“Bu-bukan begitu aku....”
“Kupikir kau butuh bantuan saat kau kirim pesan tolong.” Satsuki memotong ucapanku.
“Itu pasti tentang Anzi kan?!!!!”
“Sa-Satsuki jangan teriak-teriak terus nanti kakakmu dengar”.
“Biar sajaa. He? Siapa? Kakaku siapa?” Satsuki memancing.
“Ka-kakakmu. Si-siapa lagi.” Aku berkilah.
“Aku mau tahu kakakku yang mana, yang namanya siapa.”
“Memangnya kau punya kakak lagi selain..ng..selaiinn.....
“Ah sudahlah.” Lagi, Satsuki memotong perkataanku.
“Kau bahkan masih tak bisa sebut namanya.” Lanjut Satsuki.
Aku menunduk.
“Maaf ya Satsuki.”
“Aku tunggu kau hari ini.”
Eh?
“Cepat kemari bawakan kuenya, aku tidak mau tahu lagi.”
Aku terdiam sejenak.
“Iya. Aku kesana. Aku mandi dulu, semalam ketiduran aku lupa mandi.” Kataku pelan.
“Terserah kau saja.”
Klik! Satsuki menutup telepon.
Huftt.... aku menghela napas.
Satsuki marah.
Aku berjalan menuju kamar, bersiap-siap untuk mandi.
Aku paham kenapa Satsuki marah. Aku sudah mengirim pesan tolong tapi apa yang aku lakukan? Aku malah tertidur. Bahkan saat kulihat layar ponselku disana tertera 15 panggilan masuk. Lima belas, dan semuanya adalah Satsuki. Aku ini bodoh.
Aku berendam dan membenamkan wajahku di air.
Mau tidak mau aku harus kesana sekarang juga. Sudah tidak bisa ditunda lagi. Satsuki sudah kesal, bahkan kue itu pun datang ke dalam mimpi.
Mimpi?
Aku mimpi Anzi mengatakan bahwa ia menyukaiku. Apakah...
Ah tidak ! itu konyol, dan tidak mungkin.

Satu jam kemudian.

Aku duduk di depan kaca.
Sudahlah begini saja. Tidak perlu makeup kan? Masa mau ke sebelah rumah saja pakai makeup.
Anzi loh Anzi, dia suka wanita cantik yang dewasa.
Aaaah tidak-tidak. Mau aku berdandan seperti apa toh aku hanya anak kecil buatnya, tidak perlu dandan segala.
Aku meraih pelembab bibir.
Pakai ini saja biar tidak kering. Tidak perlu yang lainnya.
Setelah meyakinkan diri bahwa baju yang kukenakan baik, aku turun ke bawah, mengambil kue di dalam kulkas. Aku menggunakan kaos merah lengan panjang dan rok hitam selutut dengan motif polkadot putih. Di sisi bawahnya ada sedikit renda-renda. Kenapa kaos berwarna merah?
Ah itu kan warna kesukaan Anzi.
Aku menggeleng-gelengan kepala.
Kenapa kenapa kenapa kenapaaaa. Yang selalu aku pikirkan adalah hal-hal yang disukainya terus. Tidak bisakah aku berpikir tanpa membawa-bawanya serta.
Tidak! Sebuah suara terdengar di kepalaku.
Aku menunduk. Aku tahu, saat aku bertanya sesungguhnya diriku yang lain sudah tahu betul apa jawabannya. Aku memang selalu memikirkannya. Laki-laki itu terus bersarang di kepalaku setiap saat.
Tanpa terasa aku sampai di depan pintu rumah Satsuki dan..... Dia.
Ayo ayo ayoooo, apa yang pertama kali harus aku lakukan saat bertemu dengannya?
Ah, bagaimana kalau aku panggil Satsuki terlebih dahulu. Tidak! Satsuki marah padaku, setelah aku mengecewakannya apa pantas aku masih saja meminta bantuannya. Aku memukul kepalaku sendiri pelan.
“Pe-permisi.” Sapaku.
Sepi tak ada jawaban.
“Satsukiii,” panggilku sekali lagi.
Masih tak ada jawaban.
Panggil saja Anzi.
Ti-tidak! Mana mungkin aku memanggilnyaaa.
“Pa-pamaan, Bibiiii.” Kali ini aku memanggil paman dan bibi.
Nihil! Sama sekali tak ada jawaban dari dalam. Karena penasaran kupegang gagang pintu.
Klak! Terbuka.
Pintunya tidak terkunci, tapi mengapa di dalam seperti tidak ada orang?
“Paman, Bibi ini aku Nina. Aku masuk.” Aku memasuki rumah perlahan. Tiba-tiba
Praaaangg  !! suara gelas kaca jatuh terdengar.
He? Ada apa? Pencuri? Apa mungkin pencuri?
Aku meletakkan kue di atas meja di ruang depan. Aku akan memeriksa ke dapur. Suara itu sepertinya dari dapur. Aku berjalan dengan mengendap-endap. Kalau benar pencuri semoga ia tak menyadari keberadaanku. Pintu depan yang tak terkunci, tak ada seorang pun menjawab salamku, terlebih suara ribut di dapur. Tak salah lagi, pasti pencuri.
Begitu aku sampai di pintu dapur, aku melihat tangan seseorang terjulur di lantai. Badannya terhalang meja. Aku mendekatinya perlahan. Maling itu pingsan? Mungkin paman dan bibi sudah memasang jebakan untuk maling (ini seperti tikus saja). Namun betapa terkejutnya aku begitu aku mendekati sosok yang terjatuh di lantai itu. Aku melihat wajahnya.
“A-Anzi!!” seruku.
Ya Tuhan Anzi pingsan !
“A-apa Anda baik-baik saja?” aku meraih tubuhnya.
Ya Tuhan, badannya panas sekali. Ia sakit.
Aku berusaha membawa Anzi ke tempat yang lebih nyaman. Be-berat, tubuh laki-lakinya berat sekali. Aku yang bertubuh kecil sangat kepayahan membawanya. Bagaimana ini? Aku tak mungkin membawanya ke kamar. Kamar Anzi kan di atas, dengan tubuh sekecil ini bagaimana cara aku membawanya ke atas?
Akhirnya aku membaringkan tubuh Anzi di atas sofa di ruang tengah. Cepat-cepat aku ambil selimut dan air putih hangat. Aku menyelimuti tubuhnya dan memberikannya minum.
Apa yang terjadi padamu Anzi? Kenapa Satsuki tak memberitahuku kalau kau sakit. terlebih lagi tak ada siapapun di sini. Kau sendirian.
Aku membuka kulkas dan mengeluarkan es. Aku harus menurunkan suhu tubuhnya terlebih dahulu, jika nanti Satsuki atau paman dan bibi kembali barulah memanggil atau membawanya ke dokter.
“Sa-Satsuki.” Terdengar suara Anzi merintih memanggil Satsuki. Cepat-cepat aku kembali ke ruang tengah. Aku segera mengompresnya dan menyeka keringat di wajah serta lehernya.
“Satsuki.” Panggil Anzi lagi.
Glek! Aku menelan ludah. Laki-laki itu, laki-laki yang aku cintai sekarang ada di depan mataku. Aku menyeka wajahnya. Ia sa-sangat tampan bahkan saat kepayahan seperti ini.
Aku menggeleng-gelengan kepala. Nina, apa sih yang kau pikirkan. Jangan berpikir yang bukan-bukan dan rawat dia agar merasa lebih baik.
“Sa-Satsuki tidak ada. Ta-tapi tenanglah aku akan menjagamu sampai Satsuki atau paman dan bibi datang.” Jawabku sedikit gugup.
“Siapa?” tanya Anzi.
Glek! Aku menelan ludah lagi. Aku tak bisa menyebutkan namaku.
“A-Aku tetangga sekitar sini.” Kalimat itulah yang keluar dari mulutku. Setelah mengatakan itu, Anzi tak lagi bertanya. Ia terus memejamkan mata, sepertinya ia sangat merasa sakit.
“A-apa yang Anda rasakan? Pusing?” tanyaku.
Anzi mengangguk lemah.
“Apa Anda sudah makan?” tanyaku lagi.
Anzi menggeleng pelan.
Ya Tuhan, dia belum makan. Tidak mungkin minum obat jika belum makan.
“Tu-tunggu aku sebentar aku akan buatkan makanan.”
Aku segera menuju dapur. Aku membereskan pecahan gelas tadi dan membuat bubur. Pasti tadi Anzi mau minum, tapi karena tubuhnya terlalu lemas ia jadi terjatuh. Aku malah menyangka ada maling. Anzi kuduga maling (sialan kau Nina).
Sebelum bubur matang aku berlari ke toko terdekat membeli obat. Aku sudah menyetel alatnya, jadi tidak perlu menunggu seperti ketika memasak dengan kompor. Aku tidak tahu persis Anzi sakit apa, tapi setidaknya kurasa aku harus membeli obat penurun panas dan pusing. Aku sangat terburu-buru di dalam toko, saat dikasir aku meminta orang di depanku agar memberikan antreannya terlebih dahulu kepadaku.
Darurat, kataku. Untunglah ia mau.
Sesampainya di rumah aku segera memberikan bubur kepada Anzi. Ah tapi, tak mungkin ia makan sendiri ya. A-aku harus suapi?
Aku meminta Anzi memosisikan dirinya senyaman mungkin. Ini supaya makanannya bisa tertelan dengan baik, tidak membuatnya tersedak. I-ini pertama kalinya aku menyuapi A-Anzi. Aku sangat gugup. Satsuki dimana kau?
Beberapa saat kemudian.
“Kakak aku pu....” Satsuki tercekat dan terdiam di depan pintu.
“Heee??? Ninaa, Anzi kenapa?” buru-buru ia menghampiri  kami berdua.
“A-ah Satsuki, ta-tadi ketika aku sampai di depan aku mendengar suara gelas pecah kupikir ada pencuri ternyata A-An, di-dia pingsan,” aku setengah gugup menjelaskannya.
“Ya Tuhan. Tadi sebelum pergi aku sudah menanyakannya apa ada yang ingin kuambilkan. Anzi bilang tidak jadi kupergi saja. Ternyata malah begini, dasar.”
Jadi Anzi memang sedang sakit? kenapa Satsuki tak memberitahuku?
“Nina, kau bawa ini ke dapur ya. Biar aku yang suapi Anzi.”
Aku mengangguk.
“Ah, aku juga sudah membeli obat. Semoga tepat,” ujarku. Satsuki mengangguk.
Setelah aku meletakkan barang belanjaan Satsuki, aku menuju sofa dan membantu Satsuki memberikan Anzi obat. Anzi kembali tertidur setelah efek mengantuk obatnya bekerja. Setelah menyerahkan kue aku pamit pulang.
“Tenang saja nanti aku beritahu itu kue darimu,” goda Satsuki.
Aku mencubit lengannya. Anzi sedang sakit masih saja Satsuki memikirkan itu.

* * *
Satsuki kenapa kau tak bilang kalau Anzi sakit?
Aku mengirimkan pesan singkat kepada Satsuki.
Akhirnya aku menanyakannya juga. Kalau tau dia sakit aku akan datang lebih awal.
Piip balasan dari Satsuki sampai.
Aku kan sudah menyuruhmu lekas kemari. Kau saja lama.
Aku tahu aku salah. Satsuki pasti kesal.
Maaf  ya Satsuki. Aku menyesal.
Aku meletakkan ponsel di meja kemudian turun ke bawah untuk memastikan pintu dan jendela sudah terkunci. Satsuki mungkin tak membalas pesanku. Aku paham jika ia marah. Tak apa.
Namun tak lama begitu aku kembali ke kamar balasan Satsuki datang.
Minta maaf lah pada Anzi. Dia sudah menunggumu sejak hari pertama datang.
E?
Ee?
Eee?
Eeeeeeeeeeeee?????????
Ngomong-ngomong sudah bisa menulis nama Anzi nih.
Aku membaca lanjutan pesan Satsuki.
Aku mengeryitkan dahi. Loh bukannya memang sudah pernah menulis? (aku sendiri tak yakin).
Ah Satsuki.
Maksudmu apa Satsuki?
Aku benar-benar tak paham maksud Satsuki. Anzi menunggu? Menunggu apa?
Ah, paling kue kan. Dia kan suka kue buatan Ibu. Aku sangat ingin tahu jawaban Satsuki, tapi sampai pesan itu terkirim, hingga aku terlelap tidur, Satsuki tak membalasanya.


* * *
Aku mengucek-ucek mataku.
Ah sudah pagi, aku lagi-lagi tertidur ya semalam. Jendela kamar terbuka, aku pasti lupa menutupnya (padahal rasanya sudah kututup). Bodoh, padahal pintu dan jendela di bawah sudah kupastikan terkunci, malah jendelaku terbuka begitu.
“Selamat Pagi Nina.”
Aku menguap, mengusap-usap rambutku dan beringsut duduk.
“Pagi. Siapa?” balasku sambil menutup mulut sembari menguap.
Ibu ya? Apa sepagi ini sudah pulang? kok tidak mengabariku dulu?
“Tidur nyenyak semalam?”
Aku mengangguk malas.
Ah iya mungkin Ibu. He? Ibu?
Suara Ibu kenapa jadi laki-laki? Aku mulai merasa gusar. Siapa? Ada laki-laki di kamarku pagi-pagi? Ayah? Ayah sudah meninggal. Hantu ayah? Apa mungkin hantu ayah? Tapi kenapa hantu datang pagi-pagi? Harusnya hantu datang malam hari.
“Anak gadis tidak baik bangun terlalu siang. Coba lihat ke jendela, langit sudah terang”.
Aku melihat ke arah jendela.
Jadi orang ini yang membuka jendela kamarku? Semalam sudah ditutup kan. Tapi siapa???? Siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamarku????
Dengan perasaan yang tak menentu aku mencoba melihat ke sisi kiriku. Kalau benar hantu Ayah, aku harus apa? lari? Tapi itu Ayah. Aaah aku takut hantu. Jika benar Ayah kuharap Ayah tidak datang dengan wajah menakutkan.
Aku malah  menutup wajahku dengan bantal.
“Si-siapa?” aku bertanya takut-takut.
“Siapa? Kenapa tidak lihat sendiri aku siapa?”
“Ja-jangan menakut-nakuti aku? ha-hantu Ayah?”
Laki-laki itu malah tertawa.
“Teganya menyebut Ayahmu hantu.”
Eh? Bukan? Lalu siapa? Ya Tuhaaan aku takuuuuuut. Aku memejamkan mata.
Laki-laki itu mengambil bantal yang kugunakan menutup wajahku.
“Kamu kan yang kemarin datang, wangimu sama seperti gadis yang kemarin datang.”
Aku membuka mataku.
Eeeeeee??????????????????????!!!!!
Mataku terbelalak, jantungku berdegup sangat kencang melebihi bunyi senapan angin yang dilepaskan bertubi-tubi. Ia bukan Ayah, bukan. Bahkan bukan hantu sama sekali. Dia tersenyum manis dengan wajah laki-lakinya yang tegas. Ia duduk di ujung tempat tidurku. Memegang bantal yang tadi kugunakan untuk menutupi wajahku karena takut.
“Selamat pagi Nina. Aku bukan hantu kan??”
K-K-K-Kyaaaaaaaaaaaa ! ! ! ! ! ! ! !! ! ! !
Aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Tidak mungkin ! tidaaaak ! !
A-Anzi???!!!!!!! A-apa yang dia lakukan pagi-pagi begini di kamarku? Di kamarkuuuu!
Anzi menyibak selimutku. Memegang kedua tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajah. Ia mendekatiku dan memaksaku untuk duduk. Aku yang tak mungkin berontak pun (kalau berontak serasa Anzi ingin berbuat jahat padaku) akhinrya duduk juga.
“Tadi bantal, sekarang tangan. Kenapa suka sekali menutupi wajah? Malu?”
Aku menunduk.
Jelas aku malu ! kau ada disini kan? Bahkan mungkin sejak aku masih tidur. Kau melihat wajah tidurku, tentu saja aku malu.
“Aku tak tega membangunkanmu. Jadi kutunggu saja sampai kau bangun.”
Sungguh, aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Apa yang harus kukatakan? Aku benar-benar salah tingkah dan Anzi menyadari benar hal itu.
“Aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau kan yang menolongku kemarin?”
Aku hanya mengangguk pelan. Aku masih menunduk.
Anzi menghela napas.
“Tidak baik jika diajak bicara tidak memandang lawan bicaranya.” Anzi memegang dagu dan mengangkat wajahku.
Wajahku bagai udang rebus.
“A-aku kaget a-ada A-A-A....” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
“A? Ayam?” godanya.
“Bu-bukan!” tukasku cepat.
“Lalu?”
“I-itu, A-A-Anzi!” Aku mengatakannya sambil memejamkan mata.
Anzi tertawa.
“Akhirnya.” Ujarnya lega.
He? Kenapa dia tampak lega.
“Satsuki bilang sejak saat itu kau tak pernah mengucap namaku. Hanya melalui tulisan di pesan singkat, jadi mendengar langsung lega rasanya.”
Benarkah? Anzi lega?
“A-Anzi sudah ti-tidak marah p-padaku?” Aku memberanikan diri bertanya.
Ia tersenyum.
“Maaf ya atas perlakuanku waktu itu. Aku seharusnya tak melukai perasaanmu.”
Aku menggeleng.
“Tidak apa. Aku yang seharusnya minta maaf, tidak pantas memiliki perasaan seperti itu.”
Suasana terasa berubah. Aku mulai bisa berbicara lebih baik, tidak terlalu gugup. Kami hanya berdua di dalam kamarku, serasa aku ingin berbicara dari hati ke hati. Betapa aku menyesal telah lancang mencintainya.
Anzi mengelus kepalaku.
“Jangan bicara begitu. Itu hakmu. Setiap orang memilik hak bahkan untuk mencintai seseorang.”
“Tapi bagaimana dengan perasaan orang itu. Dia pasti terganggu kan.”
“Awalnya iya. Tapi ia menyadari ketika itu ia masih sedang dalam suasana hati yang buruk. Tidak bisa berpikir jernih.”
Aku menatapnya.
“A-Anzi mau memaafkanku?”
“Sudah kubilang aku yang minta maaf.” Senyumnya teduh sekali.
Tidak terasa air mataku jatuh.
“Terima kasih. Terima kasih,” ujarku sembari mengusap air mata.
“Ah maaf ya kalau aku mengagetkanmu. Aku minta kunci rumah ini pada Satsuki untuk masuk. Hehe..”
Aku menggeleng. Tak apa.
“Ka-kau sudah sehat?” tanyaku
“Sudah. Berkat seseorang yang kemarin merawatku.” Ia menatapku dalam.
Aku lagi-lagi bersemu merah.
“Terima kasih.” Lanjut Anzi.
Aku tersenyum.
Aku tidak perlu ucapan terima kasihmu. Asal kau sehat aku sudah senang.
“Oh, kuenya enak. Aku sudah memakannya.”
“Terima Kasih tapi aku hanya membantu sedikit, kue itu lebih banyak Ibu yang buat” kataku.
Anzi menatapku lama.
“Nina’’ panggilnya.
“Hum?”
“Aku lapar. Aku mau makan masakanmu. Sudah lama tidak makan masakanmu.”
Aku sedikit terkesiap.
“Mau?” ujarnya memastian.
He-eh. Aku mengangguk senang.
“Aku bantu ya. Aku mau masak dengan Nina.”
Kami pun berjalan bersama menuju dapur. Aku mengeluarkan semua yang ada di kulkas. Aku akan masak makanan yang spesial untuknya.
Aku ingin Anzi selalu baik-baik saja. Aku berjanji tidak akan membuat Anzi kesal lagi. Hubungan kita yang baru ini, dimana Anzi sudah memaafkanku akan aku  jaga baik-baik. Aku tak akan berbuat hal bodoh lagi. Tak perlu ucapan cinta seperti di mimpi, tak perlu mengetahui apa perasaan Anzi padaku saat ini. Melihatnya tersenyum dan menyapaku lagi saja sudah sangat membuatku bahagia sekali.

Terima kasih Anzi.

 *ini hanyalah fiksi belaka jika ada perbedaan karakter harap maklum, namanya juga buat fun aja xDD