Kali ketiga aku melarikan diri dari
jam olahraga. Aku bersembunyi di bawah pohon belakang bangunan sekolah. Duduk
di atas ayunan kayu sambil mengunyah permen karet. Kenapa aku lari? Terkadang
pertanyaan yang timbul dari dalam diriku sendiri justru aku tidak dapat
menjawabnya. Aku juga tidak tahu, yang pasti aku lemah dalam olahraga. Lari
selalu yang terakhir, bermain kasti selalu membuat tim kalah, dan gerakanku
saat senam sangat aneh. Kaku seperti robot. Serta merta semua mentertawakan
aku. Pasti bisa dibayangkan apa yang aku rasakan? Malu! Maka aku selalu rutin
melarikan diri belakangan hari ini, karena aku sudah tidak sanggup lagi
ditertawakan, diam-diam.
Aku mengunyah permen karet
keempatku. Yang lain sudah kubuang, rasa manisnya sudah hilang sejak kali
pertama gelembungnya berhasil kucitpakan. Ah! Hambar rasa permen karet ini,
besok aku akan cari rasa lain yang lebih tahan lama manisnya. Biar aku bisa
semakin berlama-lama di sini. Menatap rumput dan alang-alang yang
bergerak-gerak ditiup angin. Saling beradu satu sama lain. Meski rumput itu
kalah tinggi, tapi tetap saja kan dia tidak mau kalah. Lebatnya hampir menyamai
kumpulan alang-alang yang seolah mau menguasai daerah ini. Tanah di belakang
sekolah ini. Toh seperti apapun persaingan diantara keduanya, tetap saja mereka
hidup dengan tujuan yang sama. Menanti angin yang akan menggerakkan tubuh-tubuh
mereka. Meski gerakan rumput takkan segemulai alang-alang yang tubuhnya jauh
lebih tinggi. Angin tetap menempa ujung kepala tiap-tiap rumput. Dan itu yang
mungkin dinanti. Aku sok tahu saja. Mana aku tahu rasanya jadi rumput.
Kebun belakang sekolah ini biasanya
selalu kedatangan tamu. Seorang nenek tua yang kerap mencabuti rumput dan
alang-alang kemudian mengikatnya untuk dibawa pulang. Untuk makan hewan
ternaknya mungkin, atau dibuat sesuatu. Sekali lagi, aku sok tahu saja. Tapi
hari ini aku tak melihat nenek itu. Kemana dia?
Hup! Aku turun
dari ayunan kayu. Heh, hendak kemana kakiku ini? Aku yang sedari tadi sok tahu,
justru tidak tahu kemana kakiku hendak pergi. Padahal kakiku sendiri. tanganku
otomatis menepis alang-alang yang menghalangi lajuku. Kaki kanan dan kiriku
berganti-ganti menapaki jalan yang penuh dengan rumput. Aw, aku menginjak
rumput-rumput itu, yang susah payah hidup bersaing dengan alang-alang. Aku
menghancurkan usaha mereka menguasai tempat ini? Mereka yang lebih kecil dari
alang-alang dan tidak putus asa berjuang? Aku kan sok tahu, jadi mana kutahu.
Puh, aku melepeh permen karet
terakhirku. Benar-benar tidak manis lagi, sama sekali.
Setelah aku menyibak sepasukan
rumput dan alang-alang, aku mendapati sebuah kebun asri setelahnya, kemudian sampailah
aku di depan sebuah rumah tua namun terawat. Agak merinding saat menyadari
bahwa tempat ini tenang sekali. Sejuk, bersih, dan tercium aroma kayu dari
tiang-tiang bangunan rumahnya. Aku mengitari bagian luar rumah tua itu. Dari
sekolah, aku tidak bisa melihat kalau disini ada rumah. Apa sesungguhnya rumput
dan alang-alang itu bukan beraing? Mungkin mereka bersatu untuk menyembunyikan
keberadaan rumah ini. Lalu, apa gunanya angin yang mereka tunggu? Bukannya
mereka berebut hembusan sang angin? Jangan-jangan hanya tipuan. Bisa saja agar
terkesan natural, sehingga mereka tidak terlihat mencurigakan sedang
menyembunyikan sesuatu. Tarian mereka bersama angin itu untuk menyembunyikan
sesuatu kan, rumah ini. Apa rasa sok tahuku kali ini benar?
Aku
menemukan tumpukan alang-alang yang biasa dikumpulkan nenek itu. Loh, dia tidak
punya hewan ternak. Alang-alang itu sebagian sudah kering dan tertata rapi di
bagian belakang rumah. Aku berjalan sedikit lebih ke belakang lagi. Oh, ada
banyak semacam tikar, lalu wadah makanan (mungkin, aku sok tahu lagi), dan
bebeberapa bentuk kerajinan lainnya. Oh, jadi bukan untuk pakan ternak
(ternyata tebakanku yang sok tahu itu salah). Aku coba raba salah satu wadah yang
terbuat dari anyaman alang-alang itu. Lucu juga. Tiba-tiba ketika aku hendak
meraba benda lainnya, ada sesuatu yang menyentuh bahuku. Ya Tuhan, apa itu? Aku
ingin menebak-nebak, tapi kali ini aku sungguh tak ingin rasa sok tahuku
bekerja. Aku bergidik. Angin berhembus pelan. Suasana menjadi lebih dingin dari
sebelumnya. Kumohon ini bukanlah hantu atauapun orang jahat yang dipikirkan
oleh rasa sok tahuku. Aku juga tak mau jika yang menyentuhku adalah tangan
nenek penghuni rumah ini yang ternyata adalah penyihir tua yang jahat. Penyihir
jahat yang tengah menunggu gadis remaja untuk ditangkap dan dijadikan bahan
tambahan ramuan awet mudanya. Aku memejamkan mata. Ya Tuhan, saat aku berbalik
nanti kumohon rasa sok tahuku kembali salah. Semoga bukan nenek penyihir yang
jahat. Semoga bukan hantu di siang bolong penunggu kebun belakang sekolah.
Semoga....
Aku membalikkan tubuhku.
Ne-nenek....
* * *
Aku
mengganti pakaian olahragaku dengan seragam biasa. Jam pelajaran olahraga sudah
usai. Aku kembali duduk di kursiku yang letaknya tepat di samping kaca yang
menghadap ke kebun belakang sekolah. Makannya aku bisa tahu kalau ada seorang
nenek yang kerap datang mencabuti rumpur dan alang-alang (kali ini aku benar,
bukan sok tahu). Aku merogoh sakuku, mengambil jam tangan tua di dalamnya.
Nenek itu yang memberikannya padaku
tadi.
Setelah
aku menoleh, ternyata nenek pemilik rumahlah yang menyentuh bahuku. Kemudian ia
mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Saat di dalam aku semakin jelas mencium
aroma kayu dari tiang-tiang penyangganya. Nenek itu hidup sendiri setelah cucu
kesayangannya meninggal. Aku tak tahu mengapa ia memberiku jam tangan usang
ini.
“Berikan pada laki-laki yang kau sukai,” Begitu kata
nenek.
Aku sebetulnya ragu. Aku tak kenal nenek itu, tapi
entah kenapa aku menurut saja ketika ia mengajakku masuk dan memberikan benda
ini. Tanpa pikir panjang aku menerimanya. Hebat, seperti dihipnotis. Ah,
mungkin nenek itu bukan penyihir tapi tukang hipnotis (aku mentertawakan rasa
sok tahuku). Lagipula hendak kuberikan kepada siapa? Laki-laki yang kusuka?
Memangnya ada? (Ada).
“Apa itu?”, tanya temanku ketika ia tak sengaja
melihat jam tangan yang kupegang saat melewati kursiku.
Aku menggeleng. Bukan apa-apa, dan aku langsung
memasukannya ke dalam tas.
* * *
Esoknya
aku kembali ke rumah tua sang nenek. Kali ini bukan kabur menghindari jam
olahraga, tapi memang sengaja. Aku memanfaatkan waktu istirahat. Aku mau
tanyakan maksud jam tangan itu.
Nanti
juga akan tahu. Begitu kata Nenek. Tapi dengan jawaban itu, aku justru semakin
tidak tahu. Rasa sok tahuku tidak berfungsi sebagaimana biasanya. Dan akupun
hanya memandangi jam tua itu. Kalau harus diberikan kepada laki-laki yang
kusuka...
Rumput dan alang-alang itu juga kalau hanya dilihat
dari jendela sekolah, kau juga tidak tahu kan apa gunanya mereka tumbuh lebat
disana? Begitu kau mendekat, ternyata mereka berguna ketika diberikan kepadaku.
Dan aku membuatnya menjadi ini untuk kuberikan lagi padamu. Begitu kata Nenek
sambil memberikan sebuah wadah kecil berbentuk kotak. Kemudian ia meminta jam
tangan itu dan menempatkannya di sana. Ooh, seperti tempat-tempat jam kalau di
toko. Nenek membuatnya dari anyaman rumput dan alang-alang. Aku mengangguk. Jadi
saling memberi ya.
* * *
Jadi
aku harus mendekatkan diri dengan jam ini? Mendekatkan diri yang seperti apa?
Sekarang dia ada di tanganku, kurang dekat apa? Tapi aku tak tahu apa-apa.
Aaahhhh ! aku mengacak-acak rambutku sembari berbaring di atas kasur.
Aku tidak tahuuuuu ! ! !
Aku berbaring, telungkup, telentang, duduk, sambil
terus menatap jam tua itu. Jarumnya masih berdetak. Jamnya juga akurat. Hanya
saja aromanya sudah sangat antik. Aroma jam tua. Aku mengambil wadah jam hasil
anyaman Nenek. Mengamatinya pelan-pelan. Diberikan kepada laki-laki yang
kusuka?
Ada. Ada yang kusuka, tapi aku tak mau bertemu
dengannya. Bukannya malu. Ya memang malu juga sih, tapi lebih kepada tidak percaya diri. Dia kan
juga paling tak mau dekat-dekat dengan aku si gadis aneh. Aneh, suka keluyuran
saat jam olahraga. Suka menyendiri, dan menggambar makhluk-makhluk tidak jelas
di bagian belakang buku. Suka tertawa-tawa sendiri (padahal aku tertawa karena
ingat hal lucu), dan sebagainya. Apa kalau ini kuberikan padanya nanti aku tahu
maksud dari jam tangan tua ini?
Ya Tuhaaaan, aku pusing !
Keesokana
harinya, saat aku main ke rumah Nenek, Nenek bertanya lagi padaku apa aku sudah
memberikannya. Kubilang belum. Pantas, gumamnya. Haa???? (sungguh aku ingin
memencet tombol pengaktifan kembali rasa sok tahuku, tapi aku tak
menemukannya).
Jangan kemari lagi sebelum kau berikan jam
tangannya. Pesan Nenek.
* * *
Aku menghirup napas
dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Hhhh......
Jadi
aku harus memberikannya? Hari ini?
Aku sungguh tak percaya
diri. Alasannya apa aku memberikan jam ini? Bagaimana kalau dia tidak suka? Ini
kan jam tua, modelnya saja sudah pasti ketinggalan jaman. Remaja seusia kami
mana suka dengan modelnya. Kalau dia menolak, aku harus bagaimana? Kalau aku
kemudian semakin terlihat aneh di matanya, aku? aaaaahhh... tidak tidak tidak
tidak ! aku tidak bisa memberikannya !
Hari itu aku gagal
memberikan jam tangan Nenek pada laki-laki yang kusuka. Aku pulang, tanpa
mampir ke rumah nenek.
* * *
Sedikit mengenai laki-laki yang kusuka. Dia keren
dan beken. Di sekolah jadi idola, meski orang tahu jika sebenarnya dia playboy, narsis pula . Sering ada gadis yang mengaku pacarnya, bahkan dari sekolah
lain. Repot-repot mereka datang ke sini hanya untuk bertemu dengannya. Luar
biasa sekali bukan playboy ini. Meksi
begitu, dia memang hebat. Pintar bermain gitar, kritis, suka membantu, dan
pekerja keras. Menyebalkan bukan,
predikat playboy-nya seolah
tak berpengaruh karena
kelebihan-kelebihannya yang lain. Dan lebih menyebalkan lagi aku pun tak
sanggup menolak pesonanya. Lalu, disitulah letak kesulitannya! Aku ini apa?
Siapa? Bisa apa? Mahir apa? Bisa dibilang aku sendiri juga tidak tahu aku jago
dalam hal apa. Sangat rendahan jika di dalam kelas. Beda dengan dia yang
kusuka, cahayanya terang menyinari seisi kelas dan membuat semua gadis-gadis terpesona.
Sangat berlawanan bukan? Menyebalkan (sekali lagi), padahal dia playboy!
Tapi dia tidak jahat, tidak memanfaatkan gadis jelek
sepertiku untuk mengeruk keuntungan. Kalau dipikir-pikir, dia memang tidak
pernah minta ini-itu kepada gadis-gadis yang mendekatinya. Gadis-gadis itu
sendiri yang suka dekat-dekat. Hanya saja memang, nanti dia suka merayu atau
melakukan kegiatan gombalnya setelah si gadis memberikannya sesuatu. Siapa
gadis yang tidak meleleh kalau kena gombalannya? Laki-laki sekeren itu! Hmm...
Kira-kira dikemanakan ya semua pemberian itu? Pasti bertumpuk di dalam tasnya,
dan nanti saat pulang digabungkan dengan semua yang ada di kamarnya. Banyak!
Iya kan? Pasti banyak. Aku sok tahu, bahkan kepada orang yang kusuka.
Aku berbaring di kasur, kembali memandangi jam tua
dari nenek. Aku sebenarnya ingin tahu. Aku baru pertama kalinya bertemu dengan
nenek, tapi kenapa tiba-tiba nenek memberikan jam ini kepadaku? Aku ingin
bertanya, tapi bagaimana mau bertanya lebih kalau kubilang jamnya belum
kuberikan pada laki-laki itu. Nenek kan tidak mau memberitahu apa-apa sebelum
aku menyerahkannya. Jadi, aku ini di posisi membingungkan ya? Aku hanya perlu
memberikan jamnya kan? Aah, tapi masalahnya bukan hal mudah buatku memberikan sesuatu
kepada orang yang kusuka. Aku ini lebih kepada pengagum rahasia, karena aku
tidak mau laki-laki itu tahu kalau aku suka padanya. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana saat aku memanggil namanya nanti, menatap wajahnya
nanti, dan kemudian memberikan sebuah kotak berisi jam tangan itu padanya. Aku
harus menghimpun tenaga yang banyak kan. Keringatku pasti bocor, napasku pasti
tidak beraturan, jantungku pasti berlari lebih cepat. Ketika itu aku tahu pasti
dia menyadari diriku yang jatuh cinta. Nanti dia tahu kalau aku suka dia. Gadis
jelek yang tidak beken sama sekali. Aaahhhh, bukannya memalukan?! Lantas
orang-orang di sekolah itu pasti langsung mentertawakan aku. Aku semakin merasa
akan jadi makhluk yang paling menyedihkan di sekolah. Hufftt.....
Aku sudah tiga hari tidak bertemu nenek. Ini tidak
boleh terjadi lebih lama lagi. Aku ingin tahu jawaban nenek. Aku sungguh
penasaran, sangat. Maka aku mencoba menghimpun kekuatan untuk lusa, dimana aku
akan coba lagi memberikan jam tangan itu. Hei, laki-laki playboy, maukah menerima jam tangan dariku ini?
* * *
Akhirnya
hari itu tiba. Aku menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Aku
harus tenang, sebisa mungkin jangan gugup. Jangan sampai menampakkan wajah
malu-malu yang menandakan bahwa aku suka padanya. Biasa saja, panggil orangnya,
lalu berikan jam tangannya, sudah. Katakan itu dari seorang nenek dan
kembalilah ke kelas, membaca buku seperti biasa. Biar, biar saja saat dia
bingung kenapa jam itu dari nenek-nenek. Aku saja bingung, apalagi dia.
“Hei, sebentar,” kataku
Dia tampak terkejut. Benar kan, dia pasti kaget
disapa gadis paling tidak beken di sekolah ini. Dia menunjuk hidungnya tanda
bertanya. Aku mengangguk.
“Ada yang ingin kubicarakan sebentar di sana ya,
sebentar hanya 2 menit.” Aku langsung berjalan keluar. Berdiri di bawah pohon
samping pagar sekolah.
Meski bingung, dia mengikutiku. Aku sibuk
menyembunyikan kotak jam tangannya dengan tanganku. Tanganku tak cukup besar
untuk menutupi kotak itu agar tidak kelihatan. Beda dengan dia, kalau dia pasti
bisa, karena tangannya besar.
“Ada apa?,” tanyanya begitu kami sampai di bawah
pohon.
Aku
menarik napas panjang. Pelan-pelan menatap wajahnya. Berkedip sebentar agak dalam.
Sebentar
kemudian aku menyerahkan kotak itu. kotak berisi jam tangan tua dari nenek.
Dia
menatapku sambil mengeryitkan dahi.
“Buatku?”
Aku
mengangguk.
“Hee?
Ternyata sama juga dengan yang lain..
Aku
menyela ucapannya. “Nggak, itu dari nenek di kebun belakang sekolah”.
Aku tahu dia pasti bingung mendengarnya. Sebelum dia
bertanya lebih banyak aku putuskan untuk pamit dan berlari ke kelas. Sudah,
yang penting aku sudah berikan. Apapun cara penyampaiannya yang penting aku
sudah berikan. Pulang sekolah nanti aku akan ke rumah nenek, aku akan laporan
dan meminta penjelasan yang lebih lengkap pada nenek.
* * *
“Hei apa sih?” Dia datang ke mejaku dan itu membuat
kelas hening seketika. Seisi kelas melihat ke arah kami.
“Maksudmu ada nenek-nenek suka padaku? Nenek itu
memberikan apa? Ini kosong”, katanya.
Hah?!!! Aku seketika berdiri dan merampas kotak
anyaman berisi jam tangan itu. Jujur ucapannya yang mengatakan ada nenek-nenek
menyukainya itu membuatku hampir tertawa, tetapi ketik adia mengatakan isinya
kosong, aku bahkan lupa kalau aku ingin tertawa.
“Ada, harusnya ada,” kataku.
Aku ingat betul, sesaat sebelum kuberikan tadi aku
sudah pastikan jamnya ada di sana. Aku sempat membukanya lagi sebentar. Tapi,
kenapa hilang?
Tanpa mempedulikannya, aku berlari ke luar kelas.
Bukan, ke luar sekolah. Aku akan ke rumah nenek sekarang!
“Tunggu!” katanya lagi.
Aku sudah tak peduli,
aku Cuma mau bertanya pada nenek. Aku semakin tidak paham. Jamnya ada kan,
berhari-hari kupegang dan kuamati. Aku pikir kami semakin dekat sehingga aku bisa
memahami jam itu. Tapi kenyataannya jam itu menghilang? Aku tak berhasil
melakukan pendekatan? Jam itu apa bernyawa? Tidak mungkin benda seperti itu
bernyawa. Lantas jika tak bernyawa, kemana perginya? Jatuh? Ah, iya mungkin
jatuh dan tak ada yang menyadari bahwa dia jatuh. Lalu, mengapa aku masih
berlari? Bukankah itu jawaban yang masuk akal sekali.
“Kau mau kemana?” tanyanya
“Ke rumah nenek”
“Nenek mana?” tanyanya lagi.
Aku sampai di belakang sekolah, di padang rumput dan
alang-alang. Aku terus berlari, berlari ke dalam sampai aku melihat bangunan
tua itu. Bangunan tua dengan wangi kayu yang khas. Aku menginjak rumput demi
rumput, menyibak alang-alang, bersiap-siap berlari menuju pintu rumah dan
mengetuk dengan keras.
Tapi dimana? Mengapa terasa jauh? Rumah nenek
seharusnya sudah terlihat.
“Di sana tidak ada apa-apa, rumah nenek siapa yang
kamu cari?”
Aku menoleh ke arahnya.
“ Di situ, rumah nenek. Nenek yang memberikan jam
tangan itu, yang kuberikan padamu,” kataku terengah-engah sambil menunjuk arah
rumah yang bahkan tidak ada bangunan apapun yang berdiri di sana. Seharusnya ini
bukan sekedar padang ialang. Setelah menyibak kumpulam rumput dan alang-alang
kita akan menemukan kebun yang hijau, di dekatnya ada rumah tua sederhana yang
bersih dan rapi. Di sana ada nenek, seorang nenek tua yang tinggal sendirian
dengan barang-barang anyamannya.
“Kamu bodoh ya, sejauh apapun kau mencari tidak akan
pernah ada rumah. Memang tidak ada apa-apa di sini selain padang ilalang”.
Aku tak mengerti,
sungguh tak mengerti. Aku masih terus menyusuri jalan di depanku. Namun,
semakin aku terus berjalan aku benar-benar tak melihat satu bangunan apapun.
Semua hanyalah hamparan tanah dengan rumput dan alang-alang yang saling
bergoyang ditiup angin. Semakin lama angin yang berhembus semakin dingin. Aku
merinding. Aku berjongkok dan kemudian menggigil.
Aku tak sanggup berpikir apa-apa lagi. Dimana rumah nenek? Tombol rasa sok
tahuku bahkan telah mati oleh tarian bisu sepasukan rumput dan alang-alang yang
bergerak bak arloji.
Kemana nenek pergi?
1st May, 2014.
ihiy keren cerpennya <3
BalasHapusxoxo
Arlojinesia
Makasih ^^
Hapus